twitter
    Celebrating the T in LGBT

Sabtu, 02 Januari 2010

Apa Kamu Peace Generation?


10 Oktober 2009 jam 11:29 

Suatu malam, setelah berhari-hari tidak pulang ke kos karena sibuk beraktivitas, saya melongo. Tiba-tiba salah satu teman kos pamit. Ia hendak pulang ke kampung halamannya. Ternyata ia telah diwisuda empat hari sebelumnya, dan saya tidak tahu!


Kejadian itu menampar saya. Saya, yang merasa diri cukup memahami permasalahan hukum dan hak asasi manusia dan bercita-cita menjadi pembela rakyat kecil, ternyata tidak tahu keadaan rumah tinggal saya sendiri. Saya, yang suka ikut aksi di sana-sini, membahas isu ini-itu, dan membuat kegiatan begini-begitu, bahkan saat itu sedang koar-koar tentang perdamaian (di Peace Generation) dan penghargaan pada perempuan pekerja seks (di Red District Project), nyatanya tidak menghadiri wisuda teman satu rumah dan tidak turut bergembira bersamanya karena hal tolol: tidak tahu.

Ironis.

Saya malu.

***

Lain waktu, saya melongo lagi, gara-gara celetukan abang tukang sate langganan saya.

“Makasih ya Mbak, mau ngajak saya ngobrol. Biasanya anak kos cuma beli, nggak pernah ngajak ngomong. Kesannya tukang sate tuh hina banget…”

Plaaak! Saya tertampar lagi.

Ternyata banyak juga teman-teman mahasiswa yang acuh, kalau tak boleh disebut angkuh, pada sekitarnya. Jual mahal. Sibuk belajar dan berkegiatan hingga lupa menoleh dan menyapa. Sibuk SMS-an atau fesbukan hingga lupa menatap mata orang di depannya, berkata “apa kabar”, atau tersenyum dan berterima kasih. Bahkan pada orang yang telah menyiapkan makanan bagi mereka. Parahnya, status saya dan mereka sama, mahasiswa.

Kata orang, mahasiswa itu agen perubahan. Yang diharapkan bisa mengaplikasikan ilmunya untuk kesejahteraan masyarakat. Yang akan membawa bangsa dan negara menuju arah yang lebih baik. Karena itu, seharusnya mahasiswa mengenal sekitarnya. Mahasiswa mestinya tahu siapa orang-orang yang ada di sekeliling mereka, bagaimana keadaannya, dan mahasiswa mesti tahu apa yang bisa ia lakukan bagi orang-orang itu. Tapi, kalau mahasiswanya seperti saya semua, preett!!! Yang ada nanti malah bangsa yang acuh, angkuh, dan kebanyakan omong.


Saya ini ‘anggota komunitas Peace Generation’. Komunitas yang tak henti-henti berusaha menyebar dan menanamkan nilai-nilai perdamaian di jiwa anak muda, dimulai dengan menumbuhkan kepedulian dan mengolah kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat sekitar. Lalu saya berpikir lagi, apa iya saya masih layak menyandang titel “anggota Peace Generation” ketika ternyata saya acuh pada sekitar saya? Bahkan pada orang-orang terdekat! Masih pantaskah saya menyatakan status itu dengan bangga jika saya angkuh dan narsis, mengikuti banyak kegiatan hanya untuk nama besar saya, supaya ada yang bisa dipamerkan dan disombongkan?

Sesungguhnya, Peace Generation bukan hanya sebuah nama. Bukan juga sekedar event organizer. Peace Generation adalah sebuah semangat. Spirit. Roh. Semangat yang muncul karena kegelisahan terhadap kekerasan, terhadap perang, terhadap ketimpangan dan ketidakmanusiawian. Semangat itu ada karena keyakinan bahwa tiap manusia diciptakan berharga dan unik, hingga tak ada yang boleh diperlakukan buruk. Semangat itu dihembuskan karena percaya bahwa kebaikan akan selalu tumbuh, tidak bisa mati. Peace Generation adalah semangat untuk peduli, bukan acuh. Semangat untuk terus berbuat baik, dengan tulus, pada semua, tanpa membeda-bedakan. Semangat untuk memastikan bahwa setiap orang diperlakukan sebagai manusia. Hanya orang yang memiliki semangat itulah yang layak disebut Peace Generation sesungguhnya.

Pada titik ini, jujur saya akui bahwa saya sangat tidak nyaman dengan kondisi saya saat ini yang begitu acuh dan angkuh. Saya ingin menyapa tetangga saya. Saya ingin menimbun sedikit demi sedikit lubang antara saya dan orang-orang di sekitar saya. Saya tidak ingin ilmu dan pengetahuan saya mati sebagai omong kosong. Saya amat merindukan semangat-semangat itu. Saya ingin menjadi Peace Generation yang sesungguhnya.

Lalu, Apakah kamu Peace Generation?


*We’ve been all the way to the moon and back, but have trouble crossing the street to meet a new neighbor. (Paradox of Our Time, Jeff Dickson)

::che::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

What's on your mind? Let me know! :))