twitter
    Celebrating the T in LGBT

Kamis, 24 Maret 2011

Manusia itu Wabah, bukan?




23 Maret 2011

Tadi malam aku menangkap tikus got yang masuk ke kos-kosan. Tidak ada niat untuk membunuhnya. Hanya ingin menangkap dan mengeluarkannya dari kos.
Setelah semalaman kukurung di keranjang sampah dan kuberi makan, tadi pagi kumasukkan ia ke dalam kresek. Hendak kubuang ia di tempat pembuangan sampah besar dekat kampus. 
Namun aku melakukan kebodohan. ikatan kresek terlalu kencang, dan si tikus kutinggalkan di dalamnya begitu lama. Satu jam kemudian, di TPS, kubuka kresek itu dengan harapan si tikus segera bebas dariku. nyatanya, ia sudah mati lemas. sepertinya kehabisan oksigen.



Sedih sekali rasasnya. Ada rasa bersalah yang besar...

Bagaimanapun juga, tikus itu hanya mencari makan. pasti mereka tak bermaksud mengganggu atau menyebarkan penyakit. Hanya mencari makan... 


***

Kadang aku bingung, mengapa manusia (termasuk aku) merasa begitu jijik dengan hewan-hewan seperti kecoa, nyamuk, lalat, lipan, dan tikus. Hewan-hewan itu diperlakukan layaknya monster jahat yang harus dibunuh. Mereka dianggap mengganggu. Padahal kalau dipikir-pikir, apa sih salah mereka? Jika nyamuk menggigit kita, ya memang begitu siklus alamnya. Mereka tidak cuma makan darah kita, kok, tapi juga darah hewan2 lain seperti sapi dan anjing. Lalu, jika kecoa, semut, atau lipan berkeliaran di rumah kita, itu pun bukan salah mereka. Rumah-rumah kita ini berdiri di atas tanah yang dahulunya merupakan tempat tinggal mereka. Kita itu cuma menumpang di lahan mereka... Maka konsepnya harusnya ya hidup bersama. Kalau sesekali mereka muncul, ya wajar. Tak semestinya kita membunuh mereka yang sudah memberikan rumahnya bagi kita.
Bagaimana dengan tikus yang mengobrak-abrik rumah dan makanan kita?
fiuhh...
Kita, manusia, sudah terlalu banyak mengambil tempat hidup mereka. Selain mereka jadi "tak punya rumah", mereka jadi kehilangan lahan pangan pula. Kalau kita mau sadari, coba lihat, berapa banyak sih lahan kosong yang tersedia di sekitar rumah kita? apakah luas areanya sebanding dengan jumlah hewan yang terusir dari tanah yang kita tumpangi? Apakah di lahan-lahan kosong itu tersedia tanaman atau biota-biota yang cukup untuk membentuk rantai makanan?



Mungkin wabah dan penyakit yang sesungguhnya bukan hewan-hewan itu, melainkan diri kita sendiri (manusia). Mungkin selama ini kita adalah wabah bagi semesta... bagi tanah. bagi air. bagi hewan-hewan. bagi tetumbuhan. bagi udara....
Mungkin kita ini tak beda dengan para kapitalis dan kolonialis yang kita ejek-ejek itu. Kita berkuasa, kita berdaya, kita menjajah, melakukan segala sesuatu untuk kepentingan (semu) kita, kesenangan kita.


 ***

Maafkan aku, tikus...


::che::

Sabtu, 12 Maret 2011

that's what friend are for

jika ayahku hendak membunuh ayahmu, percayalah aku akan menggagalkannya.

jika keluargaku menghina keluargamu, percayalah aku yang akan membantah semuanya.

jika adikku berbicara buruk tentangmu, percayalah aku akan mengajaknya berkenalan denganmu.

jika kelompokku berperang dengan kelompokmu, percayalah aku tak akan ikut serta.

Karena kamu temanku. aku mengenalmu lebih dari apa yang mereka katakan tentangmu. aku mempercayaimu. aku mempercayai kata-kata dan senyummu. aku mempercayai uluran tanganmu. aku mempercayai air matamu. warna kulitmu tak bisa menghalangi pelukanku. bahasamu tak bisa menghalangi senyumku. agamamu tak bisa menghalangi jabatan tanganku. orientasi seksualmu tak bisa menghalangi doaku bagimu.





::che::