twitter
    Celebrating the T in LGBT

Sabtu, 08 Juni 2013

Keep Exploring, Keep Writing

Menyentuh Indonesia.

Kalau boleh jujur, itulah satu2nya motivasi saya mengambil pekerjaan ini.

2011, dalam Peace Camp VII: Bee Yourself, Mas Antariksa menjadi pemateri dengan topik identitas. Ia menjelaskan bahwa identitas keindonesiaan itu lebih sering tumbuh di awang-awang. Anak muda Indonesia selalu didoktrin untuk bangga akan identitasnya sebagai orang Indonesia, namun seperti apakah Indonesia itu sesungguhnya? Tidak banyak yang tahu selain melalui buku, kisah lisan, dan film.

"Sentuhlah Indonesiamu. Ada lebih dari 16ribu pulau di Indonesia, dengan berbagai suku, bahasa, dan budaya yg ada di dalamnya. Sentuh tanahnya, sentuh kulit penduduknya, tatap mata mereka, dengarkan mereka bicara, kecap masakannya. Rasakan semua yang bisa kamu rasakan. Menyatulah dengan Indonesiamu."

Kata-kata Mas Antariksa itu tertanam dalam di hati saya. Hati kecil ini selalu melantunkan doa, semoga diberi kesempatan untuk benar-benar menyentuh Indonesia.

Dan beruntunglah saya, terdampar di promotor ini. Lampung, Palembang, dan Manado. Kini menuju Balikpapan. Belum banyak memang. Tapi itu tak jadi soal. Sungguh bukan soal...

Sepertinya waktu selalu kurang. Satu minggu pun tidak cukup untuk mengeksplorasi sebuah wilayah. Terlalu singkat waktu yang ada, hingga kadang saya merasa sayang meluangkan waktu untuk menulis di blog.

Tapi pacar saya selalu bilang, "Apa gunanya punya pengalaman kalau tidak didokumentasikan dengan baik dan dikisahkan pada orang lain?"

Ya, ya, ya, mungkin teman2 pun bisa memulai 'sentuhannya' dari membaca kisah saya; seperti saya dulu mengimajinasikan Indonesia melalui blog orang lain. Keep exploring, keep writing.

Sabtu, 01 Juni 2013

Menyentuh Indonesia: Manado [1]

Brenti jo bagate!

Itu kalimat berbahasa Manado pertama yang saya jumpai. Artinya berhentilah mabuk-mabukan. Pesan sosial ini terpampang di mana-mana, tanda bahwa pemerintah kota Manado dan propinsi Sulawesi Utara sedang menggalakkan program anti mabuk miras.

Tiba di bandara, saya disambut belasan muda-mudi yg menawarkan taksi. Manajemen transportasi di bandara cukup baik. Ada agen yg mencari penumpang dengan harga yang tercatat jelas. Kita takkan tertipu. Cukup jelaskan ke mana kita menuju, mereka akan membuka catatan dan menunjukkan ongkos taksinya. "Delapan puluh lima ribu dari bandara ke sudirman, bayar jika sudah sampai tujuan, Kak," jelas perempuan muda yang melayani saya. Setelah deal, ia memberi saya nota untuk diserahkan pada sopir sesampainya di hotel nanti.

Datang sendirian dan tanpa informasi tentang hotel, saya pun minta rekomendasi penginapan padanya. Kemudian saya diarahkan ke tour and travel agent satu2nya di dalam bandara. "Kak Iva, kakak ini mencari hotel baik yang murah harganya. Tolong dibantu ya Kak."

Singkat cerita, saya pun berkenalan dengan Kak Iva yang cantiknya sulit dijelaskan dengan kata2. Benar kata Ardian, perempuan Manado cantik bukan kepalang. *aihh* Kawanua kecil, demikian nama penginapan saya. Tua tapi bersih dan (sejauh ini) tidak menyeramkan. Semacam Hotel Pacific di Lampung kemarin lah.

Kartu nama Kak Iva sudah di tangan. Ia berjanji akan membantu saya berkeliling kota dan menyediakan mobil. Asik! Dapat teman jalan!

Meluncurlah saya ke hotel bersama sopir taksi yang tak kalah cerewet & baik dari Kak Iva. Sepanjang jalan ia terus bercerita tentang Manado, kultur orangnya, dan siapa saja artis yang sudah datang ke Manado. Andai perjalanan bandara-kota ditempuh dalam 60 menit, saya pasti sudah dapat info tentang jumlah dan nama2 simpanan walikota Manado. Hahahhaaaa...

Sepanjang jalan saya menemui lebih dari 15 gereja. Pantekosta, Bethel, Kristus Raja, dan seterusnya. Salah satu gereja bahkan sedang mengadakan karnaval kecil, entah untuk apa.

Kota ini tidak besar, namun terasa hangat. Semakin dekat dengan jalan sudirman, warung nasi kuning memenuhi trotoar. Buka sampai pagi, katanya, dan penjualnya rata2 datang dari jawa.

Sampai di hotel, saya disambut baik dengan resepsionis yang ngondeknya mengibgatkan saya pada Ithonk. Hahahaaa... 30 menit kemudian, saya keluar dan mencari indomaret. "Indomaret belum menyentuh Manado, Ibu. Mau cari apa? Ke Fiesta saja. Jalan kaki pun bisa..."

Fiesta ternyata adalah swalayan kecil seperti Mirota Gejayan, tapi remang2. Hemat listrik kali yaa? Hehee.. Dan Fiesta masih menjual disket!!! Kebayang nggak sih seberapa tuanya swalayan ini?

Berjalan di Manado malam hari sangat menyenangkan. Ramai tapi tenang. Angkot biru bersliweran, mengingatkan saya pada Malang. Tak ada orang yg menggoda atau bersikap kurang ajar. Aman. Malam itu, saya putuskan makan bubur ayam biasa.

Pagi ini Kak Iva mengantar saya ke kantor cabang Djarum. Di sana saya ngobrol panjang lebar dengan Pak Ferry, kepala cabang yang sangat peduli pada aktivitas anak muda. Keren pokoknya! Beliau pun mengutus salah satu anak buahnya mengantar saya berkeliling kota dan mengecek semua materi promo Slank yang sudah terpasang.

Waktu menunjukkan pukul 14.23 saat perut saya keroncongan. Keras betul perut ini berteriak, Pak Indra sampai mendengarnya. Kami pun berhenti di warung makan di pinggir pantai.

Kalau di Jogja/Malang, warung ini pasti dijuluki spesial karena menyediakan daging babi sebagai bahan pokok. Taoi di sini babi adalah makanan pokok semua orang. Tak ada yg spesial dari warung ini. Atas saran Pak Indra, saya memesan Ragey Pedas. Sepuluh potong babi ukuran kira2 4 centimeter kubik berbumbu kecap, jeruk nipis, dan sedikit rempah ditusuk dengan sebilah bambu panjang, kemudian dibakar sampai matang. Enak sekali!!

Nyam nyamm..

Kami kembicarakan banyak hal, termasuk relasi umat lintas iman di Manado. Akan saya tulis terpisah nanti.

Kembali ke hotel, lampu kamar saya mati. Untung sudah menyala lagi. Kebayang nggak sih tidur di tempat asing tanpa lampu???

Adzan pun berkumandang. Adzan pertama yang saya dengar di kota pesisir ini.