twitter
    Celebrating the T in LGBT

Kamis, 28 Maret 2013

Competition Sucks

I don't really like the idea of competition.

Homo homini lupus. Human are naturally born killer. And in my opinion, competition triggers that character to come up and dominate us.

I believe that people don't need to put down other people to be a winner or being the best. Or we don't even need any effort to be it. Basically, everyone might the best in certain fields.

But the idea of competition closes people's eyes on their own talents and good things. Competition stimulates people to focus only in certain factors which are competed.

Then people start to underestimate others due to their inability in winning those games. Even worse, people tend to put others down aiming to be a winner. Discrimination, exclusion, oppression, domination, manipulation...

And the silliest thing is that the winners declare themselves as the most civilized, educated, intelligent, -blablabla- people while standing up on others' suffering.

Jumat, 22 Maret 2013

Pria2 Pecundang.

Jam 1.30 malam. Seperti biasa saya begadang. Jogja panas. Jendela kamar berukuran satu kali satu meter dan menghadap ke jalan itu saya biarkan terbuka.

Segerombolan lelaki bermotor melintas pelan di depan kos sambil tertawa-tawa. Selang empat-lima detik, saya dengar motor2 itu putar balik. "Suit suit!" mereka bersiul saat melintasi kamar. Saya tarik nafas. Motor kembali berputar.
    "Keluar dong!"
    "Temani kita mbak!"
    "Psst, pssst!"
Mereka bersahutan berisik, lagi-lagi di depan kamar. Suara motor mereka sudah hampir lenyap ketika saya sadar mereka berputar kembali. Tangan saya mengepal. Sungguh saya ingin meraih rice cooker di hadapan untuk saya lempar pada mereka. Namun saya putuskan untuk diam.
     "Ah, ah, ah."
     "Masukin, masukin."
Desahan2 aneh dan tawa cabul mereka bersahut-sahutan dengan suara knalpot modifikasi murahan. Tepat di depan kamar.

Kembali saya tarik nafas. Diam.

Enam jam sebelumnya, hal serupa terjadi. Panggilan2 tak hormat dan terdengar melecehkan ditujukan segerombolan lelaki pada penghuni kamar berjendela terbuka ini.

Geram, prihatin, kasihan, sekaligus ingin menusukkan pisau pada mereka. Perasaan saya belum berubah, sejak pertama mendengar pelecehan2 verbal sejenis tahun 2011. Di kamar ini. Hampir setiap malam, asal jendela saya terbuka lebar.

Malam ini saya merenung.
Jika benar seks yang mereka butuhkan, ada banyak pekerja seks yang menawarkan jasa. Bukan, bukan itu.

Ini soal intimidasi dan kuasa.

Saya tahu betul siapa mereka. Gerombolan pria yang hobi nongkrong di warung burjo tetangga, yang bahkan tak berani menatap mata saya tiap kami bertemu malam hari, pukul sebelas, dua belas, atau jam satu-dua-tiga malam. Yang hanya berani curi-curi pandang keheranan melihat perempuan tomboi keluar sendirian di malam hari dan memesan indomi. Yang mengkerut tiap saya tatap balik mata mereka dengan tajam, tanpa sungkan.

Ya, ini soal intimidasi saja. Ketakutan mereka atas hilangnya kekuasaan dan harga diri, karena tak berani menggoda secara terbuka, karena mereka kalah dalam tatap mata, karena saya yang perempuan ini memiliki keberanian keluar di malam hari dan tak menunjukkan rasa takut sedikit pun pada pecundang seperti mereka.

Dengan mengintimidasi, mereka berharap saya takut. Mereka berharap saya marah dan menunjukkan rasa insecure saya. Ketakutan dan kemarahan saya adalah kemenangan bagi pecundang2 sampah seperti mereka.

Saya berjanji mereka tidak akan mendapatkannya.

Saya tak sabar menunggu esok, di mana mereka kembali datang, menatap jendela saya, dan mendapati saya menatap mereka tajam. Seperti yang selalu saya lakukan di burjo.

I'm not scared at you, loser. You're just a group of assholes looking for power,  demanding women to kiss your feet.

I'm going to show you what a woman can do.

Moron.