twitter
    Celebrating the T in LGBT

Minggu, 22 Desember 2013

Englishman in New York [4]

Maskulin itu beda sama patriarkal. Kamu maskukin, belum tentu kamu patriarkal. Kecuali kalo kamu menggunakan maskulinitasmu untuk merepresi, mensubordinasi orang lain. Itu patriarki. Orang feminin pun patriarkal kalo dia menyerang orang lain.

-Teh Inna

Minggu, 01 Desember 2013

Redefinisi Perempuan Kuat

Kemarin, social media ramai dengan pembicaraan tentang SS, penyair yg dikabarkan memaksa remaja perempuan berhubungan seks, korbannya hamil, dan konon SS tidak mau bertanggung jawab.

Hari ini topik pembicaraan berubah. Timeline berisi puja puji pada istri dan anak SS yg katanya begitu tabah dan kuat menghadapi cobaan. Lebih spesifik lagi, orang2 sibuk memuji sikap istri dana anak SS yg siap mendukung dan berjanji untuk terus berada di samping suami/ayah mereka.

Ada apa ini sebenarnya?

Saya langsung ingat ibu saya. Orang2 di sekitar keluarga saya juga menjuluki ibu sebagai "perempuan kuat", karena ibu menyanggupkan diri untuk tetap hidup bersama bapak meski bapak jelas2 melakukan kekerasan fisik dan psikis terus menerus pada kami sekeluarga. Ibu saya bukan hanya memutuskan tidak berpisah. Ibu tidak menggugat perlakuan bapak. Ibu bahkan sudah sampai pada level membenarkan, atau mencari pembenaran, atas setiap kekerasan yang bapak lakukan.

Label kuat layak diberikan pada perempuan yang bersikap demikian?

Saya tidak mau setuju.

Ibu adalah korban pertama di pernikahan ini. Kemudian saya. Dulu saya melihat ibu sebagai sosok yang kuat karena masih mampu hidup meski disiksa. Hingga kemudian ia tak (bisa) lagi membela diri. Hingga lalu ia tak mampu lagi membela saya. Hingga kemudian ia membiarkan bapak melakukan kekerasan itu lagi dan lagi. Hingga lahir adik perempuan saya, yang menjadi korban bapak berikutnya. Hingga korban bertambah lagi satu saat si bungsu lahir. Hingga anak yang mengalami trauma berat dan berkecenderungan menjadi impulsif-agresif berjumlah tiga. Hingga ibu menolak segala opini saya tentang bapak dan relasi mereka. Hingga saya sadar ibu lebih memilih untuk menyelamatkan muka di depan orang daripada menyelamatkan anaknya...

Begitukah perempuan kuat itu?

Yang menjebakkan dirinya dalam lingkaran kekerasan? Yang mengaku mencintai suaminya namun kehilangan cinta pada dirinya sendiri? Yang membesarkan anaknya dengan cucur air mata untuk kemudian membiarkan anaknya tersiksa? Yang melahirkan korban2 kekerasan berkutnya? Yang mengajarkan pada anak2nya bahwa adalah kodrat perempuan untuk diinjak2, bahwa lembaga pernikahan itu tetap sakral sekalipun penuh kekerasan, bahwa citra baik di depan masyarakat harus dibayar dengan trauma panjang dan kecenderungan kami jadi pelaku kekerasan berikutnya?

Saya paham, ibu saya dan ibu-ibu lain sepertinya adalah korban. Tapi mereka pun terlanjur mapan dalam posisinya. Saya pun menangkap kesan bahwa mereka memanipulasi status mereka untuk berbagai hal. Dalam kasus ibu saya: simpati dari tuhan dan anaknya, misalnya ibu selalu minta kami menuruti semua keinginannya demi dia yg sudah bertahan dalam siksaan bapak. Dalam kasus lain, misalnya istri SS, mungkin simpati dari orang2 agar tidak kena dampak masalah lebih jauh, katakanlah orang simpati dan salah fokus, solidaritas pd korban berkurang, dan orang lebih banyak bicara soal kebaikan si SS daripada kelakuannya yg sedang terekspos.
Jika diamati lebih dalam, mereka justru belajar dr kekerasan yg mereka alami dan digunakan untuk melakukan kekerasan pada orang lain!

Jadi,
Masih layak disebut perempuan kuat?

Bagi saya sih kuat adalah jika ibu mengajarkan pada kami bahwa martabat manusia tidak seharusnya direndahkan dan diinjak atas nama cinta abal2 dalam lembaga pernikahan; bahwa masyarakat yang selalu kejam bukanlah alasan untuk membiarkan kekerasan merantai kami; dan bahwa kami punya masa depan yang jauh lebih baik tanpa trauma berkepanjangan, tanpa menjadi korban maupun pelaku kekerasan berikutnya.

PS:
I love you, Mom. But love is never blind.

Senin, 25 November 2013

Belajar Gender Yuk! [1]

Halo!

Hampir dua bulan yang lalu, saya ikut pelatihannya PLU Satu Hati soal bullying berbasis SOGIE (Sexual orientation, gender expression, and gender identity). Saya & geng belajar macem2 sih waktu itu, mulai dari SOGIE sampe bullying, hak anak, HAM, dsb. Tapi tetep yaa, pembahasan soal SOGIE selalu paling menarik perhatian. Gak ada bosennya deh bahas topik ini!

Hohohoo.. Buat LGBT people, sebenernya SOGIE ini makanan sehari2. Dihadapi, dimakan, diolah tiap hari, bahkan lebih dari sekali sehari. Tapi eh tapi, udah jadi keseharian gak otomatis berarti kita langsung paham kan? Ya, katakanlah kita doyan makan pecel sampe tiap hari makan pecel. Belom tentu kita ngeh kok bahan/bumbunya pecel itu apa aja.

Secara saya ini orangnya pelupa kelas kakap, ada baeknya saya tulisin lagi pemahaman saya soal SOGIE di blog ini. Lumayan lah, kalo lupa bisa buka lagi catetan ini. Sukur2 kalo bisa berguna buat orang jugak. Hihihii

Senin, 18 November 2013

Englishman in New York (3)

Transgender itu cuma ngadopsi budaya patriarki aja, mengadopsi nilai2 maskulinnya.

Tau nggak, kita tu bisa menilai orang dari cara makannya. Lihat tuh cara makanmu. Patriarkal banget. Kamu pengen menguasai makananmu. Makananmu itu gambaran dari pasanganmu. Jadi kamu ingin menguasai pasanganmu. Patriarkal banget.

Style-mu itu bapak-bapak banget tau. Sok lakik. Gesturmu itu lo!

Someday aku bakal keliling dunia. Gila. Kamu pasti iri banget ya kalo aku udah jadi laki setelah keliling dunia? Udah operasi, udah punya kumis dan jambang, lakik banget deh pokoknya. Kamu pasti iri banget deh.

me:
duh, ini orang kenapa sih? o___O'

-ema

Senin, 28 Oktober 2013

Whattt?? Wajib berjilbab???

Besok tim fasilitator anti bullying Jogja bakal ke salah satu sekolah Islam di Jogja. Pihak sekolah mensyaratkan penggunaan jilbab untuk semua anggota tim (fasilitator & observer) bervagina. Ngeselin.

Ya ya ya, beberapa temen bilang ini negosiasi lah, kompromi lah, apa lah. Tapi ngeselin tauk!

Kurang apa coba selama ini saya berkompromi dengan semua tatanan nilai di masyarakat, termasuk komunitas LGBT sendiri, soal identitas dan ekspresi gender saya? Ini bukan soal kompromi dan negosiasi lagi namanya. Ini opresi. :(

Kesel. Kesel banget. :((

Tim tercinta dukung sih kalo saya sekalian dandan "lakik". Tapi di satu sisi, kok gak tega juga mengorbankan temen2 kalo sampe ketahuan sekolah saya bukan makhluk berpenis.

Aaaaahhhhhhhh..........

Kesel!!!!! :((

Rabu, 16 Oktober 2013

Englishman in New York (2)

Jogja panas waktu saya dan Mumu makan siang di pepes Mbah Im. Saya menenggelamkan diri di instagram, di antara ribuan foto bertagar #ftm, #transguy, dan #transmen.

"Mumu, liat deh, yg ini ganteng banget yaaaa...."

Mumu hening dan mengirim tatapan aneh.

"Kamu tau nggak sih, apa yang paling diinginkan oleh orang2 seperti itu?"

Oke. Itu pertanyaan aneh. Aura Mumu juga aneh.

"Enggak," jawab saya bodoh.

Saya tahu ke mana arah pembicaraan ini. Entah kenapa, saya lontarkan juga pertanyaan yang jelas2 tidak ingin saya dengar jawabannya:
"Emang kenapa, Mu?"

"Mereka ingin diakui sebagai manusia kelas nomer satu, manusia dengan gender laki-laki. Mereka tidak mau lagi hidup sebagai second class citizen; perempuan."

"Mereka masuk di pusaran sistem dan budaya patriarki, mengamininya, dan berusaha menjadi orang yang didewakan di kultur itu. Dengan menjadi laki2."

Nah, lho. Keluar sudah jawaban terprediksi itu. Bukan Mumu namanya kalau jawabannya tidak begitu.

Saya diam dan berusaha keras tidak menangis di situ, meski gagal. Beberapa tetes air mata kadung meluncur deras.

Saya tidak lagi menatap mata Mumu hari itu.

Selasa, 24 September 2013

Pengakuan

Yang kubenci dan kusesali dari diriku selama beberapa bulan terakhir adalah: aku selalu membiarkan orang yg ada di dekatku menginjak dan melecehkan orang lain, terus-menerus. Aku membenarkan perbuatan itu dengan berbagai alasan busuk yang kususun sendiri. Aku bahkan kian mereplika laku demikian; demi puja-puji semu, kebanggan palsu, yang sesungguhnya aku sendiri tidak pernah pahami.
Dan aku paling benci ketika aku mengabaikan kata hatiku dan peringatan-peringatan yang ia kirimkan. Pengkhianatan terbesar dan terbodoh adalah pengkhianatan kepada dirimu sendiri.

I hate it most.

Tidak ada yang lebih kusesali. Tidak ada yang membuatku lebih marah.

Jumat, 23 Agustus 2013

Gay.

Pope Francis on gay (priests):
"Who am I to judge?"

Yeah.

Who the hell are you?

Who the hell are we?

Kamis, 18 Juli 2013

I'm your friend. I'm here for you, to support you.

Are you?

Since the beginning of time, it's always about you. There have been no 'us', and will never be.

:))

Rabu, 17 Juli 2013

Tentang Teman

Kata orang, kita bisa tahu siapa teman kita yg sebenarnya justru di saat kita sedang kesusahan, bukan di saat senang. Yang menemani kita di saat sulit, dialah teman yang sesungguhnya.

Kata saya, belum tentu. Bisa jadi, sosok yang menemanimu saat susah kebetulan sedang kesepian, atau lagi susah juga, jadi dia cari orang yang lagi sama2 susah buat berbagi waktu. Di saat susahmu berikutnya, ketika si dia sudah melewati masa masa susahnya, kamu berpijak sendiri. Terlalu berat baginya untuk mengotori tangan demi menarikmu dari lumpur. Atau jika kalian masih sama2 susah, masalahmu kemudian menjadi pelengkap semata. Bahwa mendengarkan curhatmu hanyalah sebuah formalitas, syarat supaya kalian terlihat seperti saling mendengarkan. Pada akhirnya, hanya kamu yang benar2 peduli, mendengarkan, dan memberi energi positifmu padanya; tanpa ia melakukan yang sama; hingga energimu begitu habis terkuras dan kakimu makin sulit menarik diri dari lumpur.

Kata orang juga, berhati-hatilah pada orang yang selalu ada di saat kamu senang. Mungkin mereka hanya mendompleng kesenanganmu saja.

Kataku, sebaliknya. Lebih baik didomplengi orang yang nyata2 ikut bergembira bersama kita, karena yang tak ikut bergembira, mungkin sesungguhnya benar2 tak ingin kita maju dan bahagia.

Demikianlah,
dunia tidak seramah itu, Kawan.

*in a dark-but-honest moment

Sabtu, 08 Juni 2013

Keep Exploring, Keep Writing

Menyentuh Indonesia.

Kalau boleh jujur, itulah satu2nya motivasi saya mengambil pekerjaan ini.

2011, dalam Peace Camp VII: Bee Yourself, Mas Antariksa menjadi pemateri dengan topik identitas. Ia menjelaskan bahwa identitas keindonesiaan itu lebih sering tumbuh di awang-awang. Anak muda Indonesia selalu didoktrin untuk bangga akan identitasnya sebagai orang Indonesia, namun seperti apakah Indonesia itu sesungguhnya? Tidak banyak yang tahu selain melalui buku, kisah lisan, dan film.

"Sentuhlah Indonesiamu. Ada lebih dari 16ribu pulau di Indonesia, dengan berbagai suku, bahasa, dan budaya yg ada di dalamnya. Sentuh tanahnya, sentuh kulit penduduknya, tatap mata mereka, dengarkan mereka bicara, kecap masakannya. Rasakan semua yang bisa kamu rasakan. Menyatulah dengan Indonesiamu."

Kata-kata Mas Antariksa itu tertanam dalam di hati saya. Hati kecil ini selalu melantunkan doa, semoga diberi kesempatan untuk benar-benar menyentuh Indonesia.

Dan beruntunglah saya, terdampar di promotor ini. Lampung, Palembang, dan Manado. Kini menuju Balikpapan. Belum banyak memang. Tapi itu tak jadi soal. Sungguh bukan soal...

Sepertinya waktu selalu kurang. Satu minggu pun tidak cukup untuk mengeksplorasi sebuah wilayah. Terlalu singkat waktu yang ada, hingga kadang saya merasa sayang meluangkan waktu untuk menulis di blog.

Tapi pacar saya selalu bilang, "Apa gunanya punya pengalaman kalau tidak didokumentasikan dengan baik dan dikisahkan pada orang lain?"

Ya, ya, ya, mungkin teman2 pun bisa memulai 'sentuhannya' dari membaca kisah saya; seperti saya dulu mengimajinasikan Indonesia melalui blog orang lain. Keep exploring, keep writing.

Sabtu, 01 Juni 2013

Menyentuh Indonesia: Manado [1]

Brenti jo bagate!

Itu kalimat berbahasa Manado pertama yang saya jumpai. Artinya berhentilah mabuk-mabukan. Pesan sosial ini terpampang di mana-mana, tanda bahwa pemerintah kota Manado dan propinsi Sulawesi Utara sedang menggalakkan program anti mabuk miras.

Tiba di bandara, saya disambut belasan muda-mudi yg menawarkan taksi. Manajemen transportasi di bandara cukup baik. Ada agen yg mencari penumpang dengan harga yang tercatat jelas. Kita takkan tertipu. Cukup jelaskan ke mana kita menuju, mereka akan membuka catatan dan menunjukkan ongkos taksinya. "Delapan puluh lima ribu dari bandara ke sudirman, bayar jika sudah sampai tujuan, Kak," jelas perempuan muda yang melayani saya. Setelah deal, ia memberi saya nota untuk diserahkan pada sopir sesampainya di hotel nanti.

Datang sendirian dan tanpa informasi tentang hotel, saya pun minta rekomendasi penginapan padanya. Kemudian saya diarahkan ke tour and travel agent satu2nya di dalam bandara. "Kak Iva, kakak ini mencari hotel baik yang murah harganya. Tolong dibantu ya Kak."

Singkat cerita, saya pun berkenalan dengan Kak Iva yang cantiknya sulit dijelaskan dengan kata2. Benar kata Ardian, perempuan Manado cantik bukan kepalang. *aihh* Kawanua kecil, demikian nama penginapan saya. Tua tapi bersih dan (sejauh ini) tidak menyeramkan. Semacam Hotel Pacific di Lampung kemarin lah.

Kartu nama Kak Iva sudah di tangan. Ia berjanji akan membantu saya berkeliling kota dan menyediakan mobil. Asik! Dapat teman jalan!

Meluncurlah saya ke hotel bersama sopir taksi yang tak kalah cerewet & baik dari Kak Iva. Sepanjang jalan ia terus bercerita tentang Manado, kultur orangnya, dan siapa saja artis yang sudah datang ke Manado. Andai perjalanan bandara-kota ditempuh dalam 60 menit, saya pasti sudah dapat info tentang jumlah dan nama2 simpanan walikota Manado. Hahahhaaaa...

Sepanjang jalan saya menemui lebih dari 15 gereja. Pantekosta, Bethel, Kristus Raja, dan seterusnya. Salah satu gereja bahkan sedang mengadakan karnaval kecil, entah untuk apa.

Kota ini tidak besar, namun terasa hangat. Semakin dekat dengan jalan sudirman, warung nasi kuning memenuhi trotoar. Buka sampai pagi, katanya, dan penjualnya rata2 datang dari jawa.

Sampai di hotel, saya disambut baik dengan resepsionis yang ngondeknya mengibgatkan saya pada Ithonk. Hahahaaa... 30 menit kemudian, saya keluar dan mencari indomaret. "Indomaret belum menyentuh Manado, Ibu. Mau cari apa? Ke Fiesta saja. Jalan kaki pun bisa..."

Fiesta ternyata adalah swalayan kecil seperti Mirota Gejayan, tapi remang2. Hemat listrik kali yaa? Hehee.. Dan Fiesta masih menjual disket!!! Kebayang nggak sih seberapa tuanya swalayan ini?

Berjalan di Manado malam hari sangat menyenangkan. Ramai tapi tenang. Angkot biru bersliweran, mengingatkan saya pada Malang. Tak ada orang yg menggoda atau bersikap kurang ajar. Aman. Malam itu, saya putuskan makan bubur ayam biasa.

Pagi ini Kak Iva mengantar saya ke kantor cabang Djarum. Di sana saya ngobrol panjang lebar dengan Pak Ferry, kepala cabang yang sangat peduli pada aktivitas anak muda. Keren pokoknya! Beliau pun mengutus salah satu anak buahnya mengantar saya berkeliling kota dan mengecek semua materi promo Slank yang sudah terpasang.

Waktu menunjukkan pukul 14.23 saat perut saya keroncongan. Keras betul perut ini berteriak, Pak Indra sampai mendengarnya. Kami pun berhenti di warung makan di pinggir pantai.

Kalau di Jogja/Malang, warung ini pasti dijuluki spesial karena menyediakan daging babi sebagai bahan pokok. Taoi di sini babi adalah makanan pokok semua orang. Tak ada yg spesial dari warung ini. Atas saran Pak Indra, saya memesan Ragey Pedas. Sepuluh potong babi ukuran kira2 4 centimeter kubik berbumbu kecap, jeruk nipis, dan sedikit rempah ditusuk dengan sebilah bambu panjang, kemudian dibakar sampai matang. Enak sekali!!

Nyam nyamm..

Kami kembicarakan banyak hal, termasuk relasi umat lintas iman di Manado. Akan saya tulis terpisah nanti.

Kembali ke hotel, lampu kamar saya mati. Untung sudah menyala lagi. Kebayang nggak sih tidur di tempat asing tanpa lampu???

Adzan pun berkumandang. Adzan pertama yang saya dengar di kota pesisir ini.

Minggu, 19 Mei 2013

Giving Up

What would you say if your friend want to give up on something? Or, ummm, let's say...his job.

Well, I wouldn't say a thing.

Your motivation in doing the job, the risk you take, I may know but won't understand.
No one could understand but you.

After all, it's you who have to take the risk, not me nor anyone else.

The only thing I might do is to help you finding the options, and let you choose by yourself..

Be bold, mate. Be bold to protect yourself and whom you love.

Senin, 06 Mei 2013

Quote of The Day_2


“I cannot trust a man to control others who cannot control himself.”
― Robert E. Lee






-ema

Jumat, 03 Mei 2013

Kenyang Lezat di Sendowo

Sup buah, lotek, gado-gado, dan bakso belakang bank mandiri. Mahasiswa UGM mana yg tidak mengenal salah satu tempat makan favorit ini? Tapi itu dulu...waktu UGM masih pro rakyat kecil dan tidak menggusur pedagang kaki lima dengan seenak jidat tanpa memberi solusi baik terkait kepindahan lokasi, ganti rugi, dsb.

Kembali ke topik semula. Warung itu pun raib. Sebagai pelanggan setia saya patah hati. Sempat mendengar kabar lokasi warung yang baru, tapi tiap dicari kok tidak ketemu. 2011, saya iseng bersama Mumu naik motor keliling daerah Pendowo. Tanpa tujuan, pengen aja lihat-lihat perkampungwn, keluar masuk gang. Dan entah bagaimana ceritanya, saya melihat ibu dan bapak pemilik warung raib itu. Hahahahaaaa...

Well, saat itu kondisi warungnya lumayan mengenaskan. Hanya berupa bilik kecil berdinding anyaman bambu di ketiga sisinya. Gedheg (anyaman bambu)-nya pun sudah jelek rupanya. Tapiiiiii....rasa masakan mereka tetep enaaaakkkkk.... Bahkan makin enak!! Hakhakhakk...

Ceritanya, Bapak pemilik warung ini dulu juru masak di beberapa restoran di Jakarta. Terus mulai tahun 1977 kalo nggak salah, dia memutuskan untuk kembali ke jogja bersama istrinya dan membuka warung sendiri. Yang mereka jual adalah bakso, gado2, lotek, dan sup buah. Semuanya buatan mereka sendiri, bahkan hingga pangsit, bakso goreng, dan pentol baksonya. Kalau kamu datang sendiri ke sini, kamu pasti bisa dengan mudah merasakan segarnya bakso buatan mereka. Sungguh berbeda dengan warung bakso kebanyakan yang baksonya sudah disimpan berhari2 dan kebanyakan borax. Bakso Pak Jumadi, nama pemilik warung ini, hampir tidak kenyal sama sekali. Tapi di setiap gigitan kamu pasti bisa merasakan daging gilingnya. Nyammmmm....

Begitu juga lotek dan gado2nya. Aaaaawwwwwww..... Enaaakkkkk.... It's quite difficult for me to explain. Harus nyobain sendiri!

Ternyata, sepanjang 2008-2010, setelah kasus penggusuran itu, mereka selalu berpindah tempat. Baru kali ini mereka bisa menetap. Awalnya sepi, tapi kini sudah ramai pengunjung lagi. :)) well, bagaimana pun, lidah memang nggak bisa bohong, ya!

Nanti kalau sudah online lewat PC, saya kasih denah menuju warung ini deh :))

Minggu, 28 April 2013

Quote of the Day




-ema

Catatan COmate

Dua hari yang lalu, saya bantu Julian, Divisi Media Promosi #CJR2013malang bikin kuis. Ini adalah kuis kesekian yang saya buat dalam dua minggu ini.

Waktu lagi spaneng mikirin #CJR2013batam, tiba2 ide yang tadi lagi nyangkut di bonsai beringin tetangga datang lagi. Bikin kuis nulis.

Selasa, 23 April 2013

Dyke, Not Jerk

Dua minggu yg padat dan melelahkan, sekaligus penuh pembelajaran. :)) Fiuhhh, tarik nafas dulu.

Yap, ceritanya saya sedang bekerja untuk promotor di kota jogja tersayang. Masculine world. Saya sadar itu sejak awal. Maklum, bukan kali pertama ini saya bekerja untuk mereka. Bagaimana pun juga, realita biasanya melenceng dari bayangan. Dunia ini, ternyata, jauh lebih maskulin dr bayangan.

Sebenarnya menyenangkan sekali memiliki rekan2 kerja dan bos2 yang tidak lesbiphobic (sepertinya masih gay dan wariaphobic sih). Saya mesti mensyukurinya. Tak ada kendala berarti dalam bersosialisasi, khususnya menyangkut orientasi seksual saya ini.

Tapi, seperti juga komunitas sosial saya lainnya, kumpulan rekan saya yang satu ini melihat saya sebagai laki-laki, bukan perempuan. Lebih spesifik lagi, mereka menganggap bahwa saya adalah lelaki yang sama dengan mereka: isi kepala penuh dengan seks, melihat perempuan hanya dari tubuhnya, dan kalau membicarakan perempuan pasti topiknya seks-seks-dan seks.

Maka terlibatlah saya dalam pembicaraan mereka. Tentang tubuh rekan kerja perempuan, tentang mbak2 SPG yang "bisa dipakai", bagaimana caranya "memakai" perempuan, ciri2 perempuan yg bisa "dipakai", dan tentang kebanggaan atas banyaknya pengalaman "memakai" perempuan.

Arrrggghhh... Gemes rasanya. Iya, saya lesbian. Mungkin juga saya transgender. Tapi saya respek sama perempuan. Saya gak suka kalau laki2 menganggap perempuan adalah barang yg bisa dipakai dan diperlakukan seenaknya. Saya tuh muak kalau kalau ada laki2 (juga perempuan) yg menganggap kalau perempuan itu tak lebih dari barang pemuas nafsu seksual belaka. Saya sangat tersinggung kalau teman2 lelaki saya ini membuat jokes jayus yg melecehkan perempuan. Dan saya lebih bingung lagi kalau mereka menganggap saya adalah bagian dari laki-laki semacam itu.

Hey!! I'm a dyke, not a jerk! ヽ(゚Д゚)ノ

Rabu, 17 April 2013

Maksud Ibu?

Kemarin pagi Mumu nemuin dosen pembimbing tesisnya. Si Ibu Dosen ini orangnya seru banget, dan single. Beliau kemudian menawari Mumu utk jadi dosen di salah satu kampus beken di Jakarta. Kebetulan kampus itu mempercayai kampus Mumu utk mengirim satu lulusan terbaiknya mengajar di sana, dengan kontrak awal satu tahun.

Singkat cerita, pulang dari kamous Mumu menceritakan percakapan mereka~~
Ibuitu: gimana Mbak Mumu? Saran saya sih kesempatan ini diambil saja ~~blablablablabla~~
Mumu: Saya pikir2 dulu ya, Bu, karena saya cukup khawatir untuk tinggal di Jakarta.
Ibuitu: Oh, begitu ya..
*hening*
Ibuitu: Apa tidak bisa mengajak Mbak Ema ikut ke sana? Cuma untuk satu tahun saja, kok..
          (me: what?? Kenapa si ibu mendadak mention namaku??)
*hening*
Ibuitu: Memang, Mbak Mumu, orang-orang single seperti kita ini selalu membutuhkan teman. Makanya saya sarankan Mbak Ema diajak saja kalau pindah ~~blablabla~~|
          (me: orang2 single seperti kita selalu butuh temaaann??? Maksudnya elo lesbi, juga, Bu??)

Demikianlah. Kesimpulan saya tidak lain dan tidak bukan adalah si ibu tau bahwa kami ini pasangan, dan bahwa dia juga lesbiii... Haaahahaha

Lesbi-enggaknya gak penting sih. Tapi nanyanya itu looo... Wagu. Gyahahaha

Kamis, 28 Maret 2013

Competition Sucks

I don't really like the idea of competition.

Homo homini lupus. Human are naturally born killer. And in my opinion, competition triggers that character to come up and dominate us.

I believe that people don't need to put down other people to be a winner or being the best. Or we don't even need any effort to be it. Basically, everyone might the best in certain fields.

But the idea of competition closes people's eyes on their own talents and good things. Competition stimulates people to focus only in certain factors which are competed.

Then people start to underestimate others due to their inability in winning those games. Even worse, people tend to put others down aiming to be a winner. Discrimination, exclusion, oppression, domination, manipulation...

And the silliest thing is that the winners declare themselves as the most civilized, educated, intelligent, -blablabla- people while standing up on others' suffering.

Jumat, 22 Maret 2013

Pria2 Pecundang.

Jam 1.30 malam. Seperti biasa saya begadang. Jogja panas. Jendela kamar berukuran satu kali satu meter dan menghadap ke jalan itu saya biarkan terbuka.

Segerombolan lelaki bermotor melintas pelan di depan kos sambil tertawa-tawa. Selang empat-lima detik, saya dengar motor2 itu putar balik. "Suit suit!" mereka bersiul saat melintasi kamar. Saya tarik nafas. Motor kembali berputar.
    "Keluar dong!"
    "Temani kita mbak!"
    "Psst, pssst!"
Mereka bersahutan berisik, lagi-lagi di depan kamar. Suara motor mereka sudah hampir lenyap ketika saya sadar mereka berputar kembali. Tangan saya mengepal. Sungguh saya ingin meraih rice cooker di hadapan untuk saya lempar pada mereka. Namun saya putuskan untuk diam.
     "Ah, ah, ah."
     "Masukin, masukin."
Desahan2 aneh dan tawa cabul mereka bersahut-sahutan dengan suara knalpot modifikasi murahan. Tepat di depan kamar.

Kembali saya tarik nafas. Diam.

Enam jam sebelumnya, hal serupa terjadi. Panggilan2 tak hormat dan terdengar melecehkan ditujukan segerombolan lelaki pada penghuni kamar berjendela terbuka ini.

Geram, prihatin, kasihan, sekaligus ingin menusukkan pisau pada mereka. Perasaan saya belum berubah, sejak pertama mendengar pelecehan2 verbal sejenis tahun 2011. Di kamar ini. Hampir setiap malam, asal jendela saya terbuka lebar.

Malam ini saya merenung.
Jika benar seks yang mereka butuhkan, ada banyak pekerja seks yang menawarkan jasa. Bukan, bukan itu.

Ini soal intimidasi dan kuasa.

Saya tahu betul siapa mereka. Gerombolan pria yang hobi nongkrong di warung burjo tetangga, yang bahkan tak berani menatap mata saya tiap kami bertemu malam hari, pukul sebelas, dua belas, atau jam satu-dua-tiga malam. Yang hanya berani curi-curi pandang keheranan melihat perempuan tomboi keluar sendirian di malam hari dan memesan indomi. Yang mengkerut tiap saya tatap balik mata mereka dengan tajam, tanpa sungkan.

Ya, ini soal intimidasi saja. Ketakutan mereka atas hilangnya kekuasaan dan harga diri, karena tak berani menggoda secara terbuka, karena mereka kalah dalam tatap mata, karena saya yang perempuan ini memiliki keberanian keluar di malam hari dan tak menunjukkan rasa takut sedikit pun pada pecundang seperti mereka.

Dengan mengintimidasi, mereka berharap saya takut. Mereka berharap saya marah dan menunjukkan rasa insecure saya. Ketakutan dan kemarahan saya adalah kemenangan bagi pecundang2 sampah seperti mereka.

Saya berjanji mereka tidak akan mendapatkannya.

Saya tak sabar menunggu esok, di mana mereka kembali datang, menatap jendela saya, dan mendapati saya menatap mereka tajam. Seperti yang selalu saya lakukan di burjo.

I'm not scared at you, loser. You're just a group of assholes looking for power,  demanding women to kiss your feet.

I'm going to show you what a woman can do.

Moron.

Senin, 04 Februari 2013

Pada Diri Sendiri [1]

Saya bersyukur masih memiliki kemampuan mempercayai orang lain, meski di satu sisi belakangan ini saya memang lebih waspada dan berhati-hati, tidak segegabah sebelumnya. Saya berjanji untuk terus mengasah empati pada orang lain. Saya ingin mendukung niat baik semua teman2 saya. Amin. Amin. Amin.

-ema