Hari ini, saya pergi ke Bantul seperti biasa, membeli rendeng (daun kacang tanah) untuk kelinci2 tercinta. Tak disangka, di sana saya bertemu salah satu satpam perempuan di kampus saya. Ternyata dia adalah menantu Mbah Wadji si penjual rendeng. Ia mengenal saya dari kejauhan, lalu menyapa saya dengan girang.
Barusan saya ngobrol sama Mumu soal kebiasaan saya yang dikit-dikit meluk, bentar-bentar minta dipeluk. Saya sendiri heran, kok saya kayak kecanduan berpelukan gitu. Padahal, di masa lalu saya gak suka banget sama hal-hal berbau pelukan, gandengan, dan sentuhan2 lainnya.
kalau dingat-ingat,
Mumu lah yang mengenalkan hangatnya rasa sebuah pelukan pada saya.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau jawab. Tapi sepertinya perasaan ibu benar."
"Nduk, setelah kamu kuliah, kamu boleh kok tinggal di jogja. Kamu mau kerja di sana, mau sekolah lagi, mau apa saja, terserah! Nggak kembali ke Malang juga terserah."
"Ibu dan bapak ini cuma pengen kamu selesaikan kuliah segera. Malu ditanya-tanya orang tentang kuliahmu terus!"
"Pokoknya, selesaikan kuliahmu dalam satu tahun! Titik. Tahun depan, undang ibu dan bapak untuk menghadiri wisudamu. Setelah itu, terserah kamu mau apa."
Ibu berdiri, pergi. Di pintu kamar ia berhenti.
"Kamu itu kalau nulis di facebook hati2. Kamu nggak mau ke gereja lagi juga terserah kamu, tapi kamu harus ingat kalau apa yang kamu tulis di facebook itu bisa dibaca banyak orang."
***
Piala. Juara. Penghargaan. Piagam.
Folder dengan foto-foto itu. Masih lengkap. Orang tua berdiri di sisi. Tersenyum bangga.
Saya persembahkan semua untuk mereka. Kebanggaan, harga diri, prestasi, semua. Saya gadaikan waktu saya untuk mereka, hobi saya, pilihan saya. Belasan tahun lamanya.
***
Ibu, Bapak, apakah aku semenjijikkan itu? Atau aku terlalu tinggi menaikkan harga diri kalian dulu?
***
Diberi kemerdekaan?
Intonasi itu, ekspresi wajah itu, seertinya lebih cocok disebut membuang.
Kamu pernah dengar kata 'timbuktu'? Di mana kamu dengar kata itu? Kapan? Oh, waktu sedang bercanda dengan teman-teman, ya? Ya, ya, ya, Timbuktu itu suatu tempat di Afrika yang mungkin sangat terpencil dan terbelakang. Timbuktu, seperti juga Somalia dan Etiopia, adalah kata yang tepat untuk menunjukkan ketidakberadaban. Itu kesimpulan saya, sih, berdasarkan pengalaman bercanda dan ejek-ejekan dengan teman sehari-hari.
Sebelum April, saya tak tahu di mana itu Timbuktu. Tak peduli apakah ia benar ada, apakah ia negara atau provinsi atau kota atau kampung kecil. Bukan urusan saya. Saya cuma tahu bahwa itu tempat yang jauh dari peradaban manusia.
***
April, dosen PLKH Humaniter memberi kami tugas. Intinya, kami harus mengikuti perkembangan kondisi dan menganalisa sebuah konflik yang benar-benar sedang terjadi di sebuah negara bernama Mali.
awwwww....lagi-lagi pertanyaan iniiii!!!! >.<
oke, pertanyaan ini sudah berkali kali mampir ke hidup saya. tapi masih sukses bikin saya gelagapan, seperti biasa! aduh. aduh. aduh!
pokoknya, bagi saya, pertanyaan yang di atas itu jebakan. iyaaaa, jebakan!! menjebak saya untuk masuk dalam salah satu kotak, yang berlabel lesbi atau yang berlabel transgender. ya, ya, ya, saya tahu teman saya gak bermaksud begitu, tapi begitulah perasaan saya.
fiuhhh.
eh, tapi, gara-gara ditanya begitu, saya jadi punya pertanyaan untuk diri sendiri deh. kenapa, ya, saya masih kaget dan bingung plus gelagapan kalo dapet pertanyaan itu? padahal, saya udah belajar tentang gender dan seksualitas. (biarpun gak sedalem n seteoritis temen2 saya belajar lho. haha) kenapa? kenapa? kenapaaa???
baiklah. beri saya waktu untuk mencari jawabnya. +__+
Sudah dua bulan tujuh belas hari saya kerja di sini. Dulu saya takut, takut kehilangan banyak waktu bersama teman. Jam kerja saya sore sampai menjelang tengah malam: jam produktif saya untuk berjumpa teman-teman, diskusi, tukar pikiran, bermain, saling tukar gagasan. Nyatanya, saya memang banyak kehilangan saat-saat itu. "em, yuk kumpul pisgen!" "wah, maaf, aku pas kerja.."
"em, hayuk ikut pertemuan jpy!" "aduh, kok pas aku kerja, sih..."
Satu hal yang saya ingat betul dari Mahathir Mohamad adalah kritikan-kritikan pedasnya terhadap tindakan Israel dan negara2 adidaya yang membiarkan tindakan itu.
Satu kali, Mahathir mendapat kecaman keras dari banyak negara karena pidatonya di konferensi negara2 Islam (OKI) . ini adalah potongan pidato yang melahirkan banyak kecaman itu:
"We [Muslims] are actually very strong, 1.3 billion people cannot be simply wiped out. The Nazis killed 6 million Jews out of 12 million [during the Holocaust]. But today the Jews rule the world by proxy. They get others to fight and die for them."
Kecaman muncul karena Mahahir dianggap mengancam perdamaian dunia, menyebarkan kebencian, menyebarkan kesalahpahaman, ofensif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai toleransi dan prinsip dialog. Berikutnya, mahathir bahkan dicap Anti-Semit.
[dari wikipedia: Antisemitism (also spelled anti-semitism or anti-Semitism) is "hatred toward Jews—individually and as a group—that can be attributed to the Jewish religion and/or ethnicity."[1] In its extreme form, it "attributes to the Jews an exceptional position among all other civilizations, defames them as an inferior group and denies their being part of the nation[s]" in which they reside.[2] A person who holds such views is called an "antisemite". Antisemitism may be manifested in many ways, ranging from individual expressions of hatred and discrimination against individual Jews to organized violent attacks by mobs, or even state police, or military attacks on entire Jewish communities. Extreme instances of persecution include the First Crusade of 1096, the expulsion from England in 1290, the Spanish Inquisition, the expulsion from Spain in 1492, the expulsion from Portugal in 1497, various pogroms, the Dreyfus Affair, and the Holocaust by Nazi Germany.]
Menanggapi kecaman2 itu, Mahathir tidak mengeluarkan reaksi yang (saya sebut) keras). Ia tetap tenang, tidak ada kemarahan atau kecaman balik. Jawaban Mahathir terhadap polemik ini simpel saja menurut saya, tapi sangat 'jlebb' dan masuk pada akar masalahnya.
"They feel that while it is proper to criticise Moslems and Arabs, it is not proper to criticize Europeans or Jews."
Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Islam banyak mendapat kecaman, kutukan, penghinaan, dan cap teroris. Apa reaksi negara2 adidaya? Nol. Diam. Bahkan ikut dalam golongan pengutuk itu.
Namun, mengapa mereka begitu panas ketika ada orang yang mengkritik Yahudi?
Saya menerima masukan dan kritik orang pada Muslim ketika Muslim melakukan kesalahan. Namun ketika saya memberikan kritik dan masukan bagi para Yahudi yang melakukan kesalahan, mengapa saya langsung disebut sebagai penyebar kebencian dan Anti Semit? Apakah Yahudi tidak boleh dikritik, meski mereka memang melakukan kesalahan?
-Mahathir Mohamad
*Membaca, menonton, dan menyelami sepak terjang Mahathir mohamad memotivasi saya untuk melihat sesuatu secara obyektif, juga untuk menanggapi sesuatu dilandaskan pada akal sehat, bukan kemarahan dan kebencian semata...
SMS itu baru saja dikirim sahabat baik saya, tepat beberapa jam sebelum wisuda sarjana-nya.
Lalu saya tidak bisa berhenti tertawa.
[maaf, sayang, aku tak bermaksud bersenang-senang di atas penderitaanmu :p]
lucu, sih!
beberapa hari dianggap sangat spesial bagi orang indonesia, dan dirayakan besar-besaran. salah satunya wisuda.
dan, justru di hari yang penting itu, orang -terutama perempuan!- seperti dituntut untuk tidak menjadi dirinya sendiri. menggunakan make up yang tebal, sekalipun si empunya hari-H tak menyukainya.
untuk difoto dan dikenang, katanya
hahahahaa...
aku jadi ingat di buku tahunan (year book) jaman SMA, yang dikenal juga sebagai buku kenangan.
beberapa teman berfoto dengan make up cukup tebal, alis dicukur, rambut diulik, dan sebagainya,
Finally after five years the movie was released I watch it for the first time. And oh yeah, it impresses me.
First, this movie reminds me on ‘the right to choose’ and its implications.
Well, just like Andy (Andrea), I often say that we have no option or we don’t have any chance to choose and decide. I act like people are guilty for everything that comes to my life, especially for the bad things. But hey! I’m not a little girl anymore. Big girl decides for herself. I have the right to choose! Shit happens to everyone, but there’s still a chance in every single problems. When I don’t have the courage to choose and take the risk, then it’s not about other person but me.
Second, this “Devil Wears Prada” leads me to a personal question: what do you want in life?
Right after the movie ended, I thought this movie tried to show me two life-choices. First, live glamorously, fashionably and sensationally as a famous-modern person then you’ll ruin your relationship with your friends, partner, family, etc. OR, live as simple person, unfashionably, and little bit traditional then you will have a perfect life and love surrounds you.
The next 30 minutes, I changed my mind. No! That’s not what the movie wants to tell me! Yes, Andrea was never really happy when she worked in Runaway. Then she be happier after decided to quit. But Miranda, Emily, James, Christian –those glamour, rich, and fashionable persons in Runaway circle—, I cannot say that their life are not happy! Both Andrea and these rich guys know what they want in their life. That’s the key. Well, no one can live their life respectfully without knowing the aims of their life, can’t they?
Hahahahaa…. Hey Devil with Prada! You’re the real angel here!
Hari ini adek2 saya bolos sekolah. Katanya, sih, kecapekan setelah kemarin ikut saya mengirim masker ke sekitar Bromo.
Maka kami pun bersenang-senang di rumah, bertiga saja, sambil mengerjakan pekerjaan rumah.
Hari sudah siang. Saya dan Si Bungsu duduk-duduk di kamar, sementara Si Tengah menjemur sepatu di atap.
"Gubbrrraaaaaakkkk!!!!!!!!!!"
Saya terlunjak dari kasur dan lari ke lantai bawah. Setengah menangis saya panggil-panggil mana Si Tengah. "Yudithhhhh......Yudiithh!!!!!"
Saya tahu betul itu suara atap jebol. Saya tahu betul itu adik saya yang jatuh dari sana. Tidak ada sahutan darinya, dan bayangan buruk tentang adik saya yang terbaring-terbujur diam di lantai meracuni otak saya.
Sampai di lantai bawah, tidak ada dia di sana.
Saya berlari sekencang mungkin ke kamar semula dan meloncat ke jendela.
Di sana saya lihat dia,
adik saya,
berusaha bangun. Badannya di dalam loteng, kepalanya melongok keluar. Antara meringis kesakitan dan tertawa, ia menatap saya dan Si Bungsu.
Kami pun tertawa terbahak-bahak sekuat-kuatnya. Air mata saya keluar. Entah, itu air mata tawa, senang, lega, sedih, kaget, atau apa.
Si Bungsu menjulurkan sebotol air padanya. Lalu giliran saya mengulur tangan, mengangkat dia dari lubang besar itu.
Duduk di kusen jendela, kami tertawa lagi. Sambil membahas bagaimana reaksi bapak dan ibu nanti melihat lubang besar di atap dan eternit itu, menyusun strategi untuk memberi tahu orang tua tentang kejadian ini supaya tidak dimarahi.
Dan tertawa lagi.
Menatap kedua adik saya siang tadi,
ingatan saya tentang kejadian sebelumnya berputar lagi. Teriakan saya, bayangan di otak saya, ketakutan saya, kekhawatiran pada Si Tengah, rasa bersalah saya, getaran pada suara saya, kecepatan gerak dan lari saya, jauhnya lompatan saya, gerak refleks saya...
Ini, tah, cinta?
Dasar adik-adik bodooooohhhhhh.......
Dudul..
Aku gak mau hidup tanpa kalian.
Stay with me, please..
NB:
Si Tengak gak jatuh ke lantai bawah karena bokongnya nyangkut di eternit. Tepat di bawahnya ada daun pintu (tepat di sudutnya) dan lemari. Jika tak tertahan eternit, entah apa yg akan terjadi padanya.
Terima kasih, Tuhan, Semesta, eternit, rangka atap, dan semua2 yang menahan adikQ biar gak jatuh ke bawah...
'Em, aku sudah kelihatan seperti laki-laki, belum? Atau masih kelihatan ceweknya?'
Pertanyaan itu muncul dari teman saya, Tokek, sepuluh menit lalu. Kami baru selesai belajar bersama karena besok ujian. Tokek hendak pulang ke rumahnya di Setan, Maguwo, mungkin sekitar 10 km dari kos saya. Menuju ke sana, Tokek harus melalui jalan lingkar utara yg beberapa bulan lalu terkenal oleh kasus2 pembacokan di sana.
Trenyuh hati saya mendengar pertanyaan Tokek. Ia tidak (merasa) aman karena berkelamin perempuan. Kebetulan ciri2 fisik Tokek sangat sesuai dengan apa yg dipikirkan masyarakat tentang perempuan: berambut panjang, kurus langsing, feminin, gemulai. Lalu, untuk membuatnya lebih (merasa) aman, ia perlu berpura-pura menjadi 'laki-laki'. Rambut digelung dan disimpan dalam helm, menggunakan jaket besar, pasang muka sangar, membusungkan dada dan menaikkan bahu, kaki 'mekangkang'.
I believe in God, not the priests. Especially the homophopic, patriarchal, unrealistic, and discriminative one.
Ya, saya akui bahwa saya jengah.
Hari ini saya membaca beberapa buletin dan majalah gereja katolik dan sejenisnya. Seperti biasa, semuanya berisi tentang cinta kasih. Ajaran untuk mengampuni. Renungan-renungan dan wejangan tertulis yang menyatakan kita harus mencintai sesama apa adanya bla bla bla.
Bosan, saya beralih ke fesbuk. Oh shit... Status seorang pastor muncul di beranda saya. Seperti biasa, ia menggulirkan kata-kata "bijak" andalannya. Seperti biasa juga, saya meradang membacanya.
Dua tahun yang lalu, pastor itu mendesak seseorang untuk mundur dari pekerjaannya. Lesbian tidak pantas bekerja di institusi katolik. Begitu menurutnya, dan menurut para atasannya yang semuanya adalah pastor juga.
Dua tahun lalu ia berkata pada orang itu bahwa sebenarnya ia tidak sepakat dengan keputusan atasan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Fakta itu membuat saya geram. Muak. Dia terkenal karena kotbah-kotbah indahnya. Banyak orang mengaguminya. Dulu saya pun termasuk dalam pengagum itu, dan saya menyesalinya.
Fesbuknya mengingatkan saya pada pastor lain. Dua tahun yang lalu, orang tua saya membawa saya ke hadapannya. Seorang pastor yang sangat terkenal sebagai ahli kitab suci. Saya masih ingat bagaimana cara ia memandang dan menghakimi saya layaknya sampah dan penyakit yang harus disembuhkan. Saya masih ingat bagaimana ia membentak saya dan sama sekali tidak memberi saya kesempatan untuk bicara.
Sungguh lucu. Saya rasa orang jelata bahkan tidak butuh sekolah dan gelar 'ahli kitab suci' untuk bisa memahami inti kitab suci: cinta kasih. Pada siapapun. Without borders.
Sementara itu, tahun lalu salah satu sahabat pacar saya meninggal. Penyebabnya pembekuan darah di otak belakang, yang merupakan efek dari siksaan suaminya selama bertahun-tahun. Sebagai seorang katolik, ia berkali-kali mengonsultasikan masalah keluarganya pada pastor. Apa yang ia dapat? Wejangan untuk bersabar dan peringatan bahwa gereja katolik melarang perceraian, tanpa bisa mengatasi masalah mereka dan menghentikan kekerasan si suami padanya.
Hasilnya? Matilah ia.
Apakah semua pastor kenalan saya itu buruk? Tidak. Beberapa pastor sangat menggugah hati saya. Karena kesediaan mereka turun ke tanah dan menyatu dengan manusia-manusia lainnya. Karena keterbukaan pikiran mereka dalam menyikapi hidup. Karena kesediaan mereka mendengar, melihat, dan merasakan pengalaman-pengalaman orang lain. Karena kerendahatian mereka. Karena kecerdasan mereka dan keberanian mereka mempertanyakan dogma.
Sayang saya hanya mengenal sedikit pastor macam itu. Sisanya? Masih mendengungkan kotbah-kotbah beracun di telinga saya. Masih terbuai oleh makanan-makanan enak dan berbagai fasilitas gratisan tiap hari di singgasananya.
Ada bayi-bayi rumput digantung. Di pohon yang mengering dengan nyala merah. Mati.
Orang-orang itu muncul dan berteriak-teriak. Layaknya kesetanan. Ada parang di tangan mereka. Tiap bayi yang tergeletak dijambak rambutnya. Mereka angkat tinggi. Mereka tebas kepalanya.
Saat itu, tiap ibu akan mengutuki hidupnya. Sebab telah melahirkan anak hanya untuk ditebas. Demi keamanan penguasa. Tiap ibu kehilangan akalnya. Menggendong mayat-mayat kecil tak berkepala. Ibu tertawa, Karena tak punya lagi air mata. Mereka kecupi kepala-kepala di tanah. Disambungnya jari-jari yang putus. Mereka tatap mata-mata kosong itu, mereka ajak bicara.
Anak di sebelahku menangis ketakutan meraih ibunya. Seram, katanya.
Beruntunglah, Nak. Di usia belia kamu telah melihat nyata.
Pembunuhan bayi-bayi di masa Herodes itu, bagi aku yang berusia 10 tahun, hanya terdengar seperti angin. Cerita lalu.
Rasakan kengerian ini, Nak. Kenanglah. Semoga menjadi penjaga nuranimu.
22.46
2 Jan 2010
Stasi 8, jalan salib natal
Humanity of Mary
*** Jalan Nalib Natal. Mulanya saya melengos saat membaca bagian akhir susunan acara. Pemberkatan patung Maria. Ah, paling patungnya gitu-gitu aja. Lokasi acara saat itu sangat gelap. Lampu hanya dinyalakan untuk keperluan pertunjukan. Patung Maria itu sendiri sengaja disetting untuk tidak terlihat hingga saatnya tiba.
Di akhir acara, saya duduk ngelesot di belakang kerumunan. Saya malas melihat patungnya. Saat menguap, tak sengaja mata saya menatap layar LCD. Saya melongo. Patung itu, jauh dari bayangan saya...
Itu bukan patung maria yang kurus-berkerudung. Bukan Maria yang menatap malu-malu ke bawah, atau kadang melirik ke depan, dengan rosario di tangan. Bukan juga Maria yang menggendong bayi Yesus. Atau Maria yang sedang bersama Yusuf.
Maria ini,
sendiri. Ia tetap berkudung. Tapi tidak kurus kering. Ia... perempuan...
Perutnya besar... Dadanya sangat penuh, bentuknya tak disembunyikan seperti patung lainnya. Badannya pun lebih berisi, tidak kurus kering.
Tangannya,,,
tangannya sedang mengelus perutnya. Ia sedang hamil, rupanya! Matanya bukan mata malu-malu. Mata tajam dan penuh kebanggaan. Mata itu sedang menatap perutnya, dengan senyum di bibirnya!
Oh! apakah yang sedang ia rasakan? Apakah ia sedang menikmati tendangan bayinya? Atau sedang menikmati kebersamaan mereka? jangan-jangan ia sedang mengagumi tubuhnya yang indah?
Patung ini luar biasa.
Maria ini, bukan Maria yang terpaksa mengikuti kemauan publik.
Maria ini, bukan maria yang dituntut untuk tampil lemah lembut dan malu-malu.
Atau yang harus menutup tubuhnya, berkahnya, dengan berlapis-lapis kain. Bukan pula Maria yang harus memamerkan anaknya. Ia juga tak sibuk berpose dengan tangan diangkat, atau tampak berdoa dengan rosario, atau berpose bersama Yusuf sebagai keluarga Nazareth yang saleh.
maria ini adalah Maria. maria yang memiliki,
menikmati dirinya sendiri.
yang sedang tidak disibukkan oleh urusan artifisial.
Maria ini adalah maria yang otonom.
Maria ini sangat menikmati keperempuanannya...
maria,
Semoga maria-mu hadir di mana-mana.
malam ini aku mensyukuri keperempuananmu, nama kita, keperempuanan kita.
aku ingin membawanya pada ibu. ingin menceritakan kehidupan kami sehari-hari. aku ingin bercerita pada ibu tentang pertengkaran kami. semua yang kami hadapi. aku ingin mendengar nasehat ibu untuk kami... untuk membina relasi kami. bagaimana membangun keluarga. aku ingin mendengar restu dan doa ibu untuk kami. aku ingin melihat ibu dan dia bercakap bersama, tertawa... aku ingin melihat ibu mengelus rambutnya, mendoakannya....
aku ingin ibu tahu, aku mencintai mereka berdua...
Ada teman yang sedang jatuh cinta... =) senang mendengarnya. Mengetahui bahwa ada yang menambal hatinya lagi, setelah tercabik sebelumnya.
ini bukan kisah cinta yang menyenangkan. bukan cinta monyet yang malu-malu atau berbunga-bunga. ini kisah yang,,,
damn! apa yang bisa dipakai menggambarkannya?
bagaimana rasanya mencintai orang yang tak teraih karena jilbab dan keyakinan keluarga?
Usai mandi, saya ngebut menuju agen bis. Masih dengan hati gundah. Mbak Etik dan Ryan sudah menunggu. Rasanya saya menangkap 'ketakutan' yang sama dari mata Ryan. Bisa jadi saya salah.
Dua jam perjalanan. Kami banyak bicara. Sekali waktu kami melirik Pleidooi. Berkas pembelaan.
*
Pengadilan Negeri Karanganyar ini lebih ramai dari sebelumnya. Ada beberapa teman LBT dari Solo. Ada wartawan. Lengkap dengan kamera-kamera mereka. Rupanya ada yang mengundang media secara sembarangan.
Dimas ada di balik jeruji itu. Tempat transit tahanan sebelum bersidang. Kegundahannya tampak jelas.
"Mas! Kalo mau motret potret aja!! Sini! Gak usah sembunyi-sembunyi!"
Ia marah pada wartawan.
"Kemarin aku muntah darah lagi, Mbak."
*
"Kamu punya flexi nggak?"
"Gak ada, Mas."
"Temen-temenmu ada yang punya gak?"
...
"Gak, Mas. Kamu mau telpon?"
Ryan meminjamkan ponselnya. Dimas makin gusar. Tampaknya yang telponnya tidak diterima. Ia menangis.
*
Saya menunggu. Tak ada keluarga yang datang. Tidak ada teman yang datang. Hanya kami. Orang yang sangat ia harapkan untuk datang pun tidak ada.
*
Tiba saatnya. Kami mengelilinginya. Memastikan wajahnya tak terekspos kamera.
Sidang hampir diskors karena Dimas menangis. Tapi ia tak mau ditunda lagi.
*
putusan dibacakan. Penipuan dan pencabulan anak. Pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda 60 juta, yang jika tak dibayar bisa digantikan dengan enam bulan kurungan.
Dimas pingsan. Media mengerubuti.
*
Ruang tahanan. Masih pingsan. Saat sadar, ia minta ke kamar mandi. Saya menemani.
Pintu dibuka. Dimas keluar dengan mulut penuh darah.
Kembali ke ruang tahanan, dan ia muntah lagi. Darah. Banyak darah. Cair, bercampur lendir. Ia pindah, duduk di bangku, dan muntah lagi. Darah yang kental dan menggumpal-gumpal.
*
Dimas yang pucat meronta. Tak mau dibawa ke rumah sakit.
"Saya mau pulang saja! Jangan bawa saya ke rumah sakit!"
Rupanya LP telah menjadi rumah baginya.
*
Saya dan Ryan menemani di mobil tahanan. Lima menit kami diam. Dimas seperti tidur. Tiba-tiba tangannya menyentuh saya, mencari-cari. Saya pikir ia minta minum, ternyata bukan. Sambil 'tidur', ia menggenggam tangan saya. Jari-jari kami bertautan. Erat sekali. Sampai sakit rasanya. Tiba-tiba saya merasakan kesepiannya... saya merasakan ketakutannya pada sendiri.
Dua menit. Ia lepas tangan saya. Lalu duduk tegak, dan mengucap doa...
Bismillah ir-Rahman ir-Rahim....
***
"Dimas itu kasihan. Dia itu nggak punya siapa-siapa. Dimas itu menyalahkan dirinya sendiri terus-terusan. Bahkan di pengadilan pun dia mengaku bahwa dia ingin bunuh diri. Dimas itu butuh teman, butuh pendampingan. Untuk menguatkan dia itu lho! Untuk memberi tahu dia bahwa apa yang dia rasakan itu tidak salah, bahwa kita memang punya hak atas seksualitas kita!"
"Aku itu sampai heran lo, kenapa kok justru teman2 LBT ini sepertinya kurang simpati pada Dimas. Padahal harusnya justru kalianlah yang lebih tahu perasaan Dimas, dibandingkan kami yang hetero ini."
***
Hingga saat ini, saya merasa tidak tenang.
Saya bangun dengan mimpi buruk. Saya ditangkap, dihajar, dijebloskan ke penjara. Saya dihajar oleh kepolisian dan kejaksaan. Pasangan saya dipaksa melihat saya dihajar hingga muntah darah, hingga ia mau memberi kesaksian palsu sesuai keinginan mereka. Media memberitakan saya dengan keterangan yang tidak benar dan menyudutkan. Semua orang menghujat saya...
Malam saya dihantui pengalaman Dimas. Saya seolah mengalami apa yang dia alami.
***
Teman-teman, Dimas tidak seperti kita yang punya banyak akses dan berpendidikan tinggi, bisa kuliah. Dimas tidak tahu wacana seksualitas. Dia tidak tahu menahu tentang gerakan LGBT. Bahkan, bukan tidak mungkin dia tidak tahu bahwa dalam ilmu psikologi, homoseksual itu bukan penyakit. Bahwa yang merupakan penyakit itu justru rasa malu, minder, ketakutan berlebihan atas orientasi seksualnya itu. Dimas hanya tahu bahwa dirinya sendiri menyukai perempuan, dan apa yang ia rasakan adalah 'dosa' di mata masyarakat. Sesuatu yang laknat. Dimas tidak tahu, bahwa hukum kita bisa jadi sangat kejam pada kaum homoseksual. Ia buta hukum.
***
Semoga, kita yang tahu dan paham wacana ini tidak berhenti pada wacana. Semoga kita mampu mengaplikasikan apa yang kita punya. Semoga kita tidak lupa pada teman-teman LGBT lain yang membutuhkan penguatan kita. Semoga di tengah kesibukan kita, komunitas kita, atau lembaga kita, kita masih sempat menengok mereka. Semoga dari uang yang kita dapat, ada yang bisa disisihkan untuk mendukung mereka, entah apapun bentuknya.
Semoga, dengan semua akses yang kita punya, kita bisa terus menyebarkan informasi pada teman-teman kita. Semoga, suatu saat nanti, tidak ada lagi yang kesepian dan merasa ditinggalkan seperti Dimas. Semoga kita mampu menjadi keluarga, terutama bagi mereka yang ditinggalkan oleh sanak saudaranya.
Semoga segala pengalaman yang kita punya bisa mengasah empati kita.
Semoga, perjuangan HAM kita tidak melayang di atas angin.
beberapa hari ini aku merasa jenuh. pada hubunganku dan pasangan.
jenuh dengan pola komunikasi yang terus begitu... sms, bercerita, bertanya, menjawab. telponan, apa kabar, ada apa hari ini, aku kangen kamu...
jenuh pada usahaku memberi pemahaman padanya tentang pola hidupku.
jenuh pada nasehatnya untuk tidak terlalu banyak minum.
jenuh,
karena aku membandingkannya dengan perempuan lain yang tampak ideal bagiku...
yang bisa menyanyi bersamaku. yang dekat, ada di sebelahku. yang begitu mengerti pola hidupku. yang modis dan cantik. yang gaul. yang...
kemarin, pasanganku datang. membawa setumpuk barangnya ke jogja. yap, dia pindah dan akan memulai hidup baru di sini.
saat aku datang menemuinya, ia tersenyum ceria.
aku minta maaf karena tak bisa datang tepat waktu.
"tak apa... aku tahu che ngajar dan sibuk di RDP. che lakukan tugas che dulu.. kita bisa bertemu kapan saja..."
aku banyak diam, tak bicara.
"che capek ya? istirahatlah... tidur dulu... jangan sakit. kan che lagi seneng-senengnya beraktivitas..."
di kamarnya, ada sebungkus nasi goreng magelangan yang telah ia siapkan untukku. lengkap dengan sendok dan piringnya. di sebelahnya ada sebotol aqua. lalu ia menyiapkan celana pendek dan baju ganti untukku.
"biar gak gerah, che..."
lalu senyap.
ia tidur kelelahan karena perjalanan panjang dan menata kamar barunya.
tidur menghadap aku yang masih membaca koran.
kututup koranku, kukecup keningnya, lalu tidur di sisinya.
Tuhan,
bagaimana mungkin aku menjadi buta akan kasihnya..akan pengertiannya, akan semangat yang ia berikan padaku?
mengapa aku bisa kalah dan tunduk pada penampilan dan kedekatan jarak, sehingga jenuh padanya?
maaf, sayang...
biar kubangun lagi pijakanku, agar bisa menggapai tanganmu lagi. bersama, sebagai aku dan kamu yang apa adanya, meraih bintang-bintang kita...