11 Desember 2009 jam 11:46
Bajingannnn!!!
Dasar orang gila! Gak tahu diri! Gak tahu adat!!
Hajar aja! Bunuh sekalian! Perusak anak orang!
***
Jogja, 10 Desember 2009
Pagi itu saya bangun dengan was-was.
Usai mandi, saya ngebut menuju agen bis. Masih dengan hati gundah. Mbak Etik dan Ryan sudah menunggu. Rasanya saya menangkap 'ketakutan' yang sama dari mata Ryan. Bisa jadi saya salah.
Dua jam perjalanan. Kami banyak bicara. Sekali waktu kami melirik Pleidooi. Berkas pembelaan.
*
Pengadilan Negeri Karanganyar ini lebih ramai dari sebelumnya. Ada beberapa teman LBT dari Solo. Ada wartawan. Lengkap dengan kamera-kamera mereka. Rupanya ada yang mengundang media secara sembarangan.
Dimas ada di balik jeruji itu. Tempat transit tahanan sebelum bersidang. Kegundahannya tampak jelas.
"Mas! Kalo mau motret potret aja!! Sini! Gak usah sembunyi-sembunyi!"
Ia marah pada wartawan.
"Kemarin aku muntah darah lagi, Mbak."
*
"Kamu punya flexi nggak?"
"Gak ada, Mas."
"Temen-temenmu ada yang punya gak?"
...
"Gak, Mas. Kamu mau telpon?"
Ryan meminjamkan ponselnya. Dimas makin gusar. Tampaknya yang telponnya tidak diterima. Ia menangis.
*
Saya menunggu. Tak ada keluarga yang datang. Tidak ada teman yang datang. Hanya kami. Orang yang sangat ia harapkan untuk datang pun tidak ada.
*
Tiba saatnya. Kami mengelilinginya. Memastikan wajahnya tak terekspos kamera.
Sidang hampir diskors karena Dimas menangis. Tapi ia tak mau ditunda lagi.
*
putusan dibacakan. Penipuan dan pencabulan anak. Pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda 60 juta, yang jika tak dibayar bisa digantikan dengan enam bulan kurungan.
Dimas pingsan. Media mengerubuti.
*
Ruang tahanan. Masih pingsan. Saat sadar, ia minta ke kamar mandi. Saya menemani.
Pintu dibuka. Dimas keluar dengan mulut penuh darah.
Kembali ke ruang tahanan, dan ia muntah lagi. Darah. Banyak darah. Cair, bercampur lendir. Ia pindah, duduk di bangku, dan muntah lagi. Darah yang kental dan menggumpal-gumpal.
*
Dimas yang pucat meronta. Tak mau dibawa ke rumah sakit.
"Saya mau pulang saja! Jangan bawa saya ke rumah sakit!"
Rupanya LP telah menjadi rumah baginya.
*
Saya dan Ryan menemani di mobil tahanan. Lima menit kami diam. Dimas seperti tidur. Tiba-tiba tangannya menyentuh saya, mencari-cari. Saya pikir ia minta minum, ternyata bukan. Sambil 'tidur', ia menggenggam tangan saya. Jari-jari kami bertautan. Erat sekali. Sampai sakit rasanya. Tiba-tiba saya merasakan kesepiannya... saya merasakan ketakutannya pada sendiri.
Dua menit. Ia lepas tangan saya. Lalu duduk tegak, dan mengucap doa...
Bismillah ir-Rahman ir-Rahim....
***
"Dimas itu kasihan. Dia itu nggak punya siapa-siapa. Dimas itu menyalahkan dirinya sendiri terus-terusan. Bahkan di pengadilan pun dia mengaku bahwa dia ingin bunuh diri. Dimas itu butuh teman, butuh pendampingan. Untuk menguatkan dia itu lho! Untuk memberi tahu dia bahwa apa yang dia rasakan itu tidak salah, bahwa kita memang punya hak atas seksualitas kita!"
"Aku itu sampai heran lo, kenapa kok justru teman2 LBT ini sepertinya kurang simpati pada Dimas. Padahal harusnya justru kalianlah yang lebih tahu perasaan Dimas, dibandingkan kami yang hetero ini."
***
Hingga saat ini, saya merasa tidak tenang.
Saya bangun dengan mimpi buruk. Saya ditangkap, dihajar, dijebloskan ke penjara. Saya dihajar oleh kepolisian dan kejaksaan. Pasangan saya dipaksa melihat saya dihajar hingga muntah darah, hingga ia mau memberi kesaksian palsu sesuai keinginan mereka. Media memberitakan saya dengan keterangan yang tidak benar dan menyudutkan. Semua orang menghujat saya...
Malam saya dihantui pengalaman Dimas. Saya seolah mengalami apa yang dia alami.
***
Teman-teman, Dimas tidak seperti kita yang punya banyak akses dan berpendidikan tinggi, bisa kuliah. Dimas tidak tahu wacana seksualitas. Dia tidak tahu menahu tentang gerakan LGBT. Bahkan, bukan tidak mungkin dia tidak tahu bahwa dalam ilmu psikologi, homoseksual itu bukan penyakit. Bahwa yang merupakan penyakit itu justru rasa malu, minder, ketakutan berlebihan atas orientasi seksualnya itu. Dimas hanya tahu bahwa dirinya sendiri menyukai perempuan, dan apa yang ia rasakan adalah 'dosa' di mata masyarakat. Sesuatu yang laknat. Dimas tidak tahu, bahwa hukum kita bisa jadi sangat kejam pada kaum homoseksual. Ia buta hukum.
***
Semoga, kita yang tahu dan paham wacana ini tidak berhenti pada wacana. Semoga kita mampu mengaplikasikan apa yang kita punya. Semoga kita tidak lupa pada teman-teman LGBT lain yang membutuhkan penguatan kita. Semoga di tengah kesibukan kita, komunitas kita, atau lembaga kita, kita masih sempat menengok mereka. Semoga dari uang yang kita dapat, ada yang bisa disisihkan untuk mendukung mereka, entah apapun bentuknya.
Semoga, dengan semua akses yang kita punya, kita bisa terus menyebarkan informasi pada teman-teman kita. Semoga, suatu saat nanti, tidak ada lagi yang kesepian dan merasa ditinggalkan seperti Dimas. Semoga kita mampu menjadi keluarga, terutama bagi mereka yang ditinggalkan oleh sanak saudaranya.
Semoga segala pengalaman yang kita punya bisa mengasah empati kita.
Semoga, perjuangan HAM kita tidak melayang di atas angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
What's on your mind? Let me know! :))