Kamu pernah dengar kata 'timbuktu'? Di mana kamu dengar kata itu? Kapan? Oh, waktu sedang bercanda dengan teman-teman, ya? Ya, ya, ya, Timbuktu itu suatu tempat di Afrika yang mungkin sangat terpencil dan terbelakang. Timbuktu, seperti juga Somalia dan Etiopia, adalah kata yang tepat untuk menunjukkan ketidakberadaban. Itu kesimpulan saya, sih, berdasarkan pengalaman bercanda dan ejek-ejekan dengan teman sehari-hari.
Sebelum April, saya tak tahu di mana itu Timbuktu. Tak peduli apakah ia benar ada, apakah ia negara atau provinsi atau kota atau kampung kecil. Bukan urusan saya. Saya cuma tahu bahwa itu tempat yang jauh dari peradaban manusia.
***
April, dosen PLKH Humaniter memberi kami tugas. Intinya, kami harus mengikuti perkembangan kondisi dan menganalisa sebuah konflik yang benar-benar sedang terjadi di sebuah negara bernama Mali.
Apa yang terlintas di benakmu ketika membaca kata itu?
Di benak saya langsung terbayang bentuknya, lengkap dengan wajah dan aura buruknya yang biasa dimunculkan di film atau acara televisi. Ugh.
Karena tak pernah melihat (baca ceritanya di Pocong [1]), maka satu-satunya sumber informasi yang saya dapat tentang bentuk jenasah berkafan alias pocong adalah dari televisi dan film. Tahu sendiri, kan, bagaimana media2 itu menggambarkan pocong? Hantu mengerikan (yang bentuknya sulit saya jelaskan di sini) dengan wajah dan aura buruk rupa serta mengganggu manusia. Nah! Sempurna! Gambaran itulah yang menempel erat di benak saya!
Dua hari belakangan, saya mendadak harus berhadapan dengan jenasah sobat saya yang sudah dikafani (Pocong [1]). Selama dua hari itu pula, saya berusaha keras memberikan sugesti positif pada diri sendiri.
"Itu ayah sobat baikmu, Ema!"
"Oke, itu ayah sobat, ayah sobat, ayah sobat. Segalanya akan baik-baik saja."
Tapi apa daya, yang muncul di kepala tetap gambaran pocong2 di tivi dan film itu. Huaaaaaa......
Akhirnya tadi malam saya ke rumah sobat lagi. Tujuannya dua, yasinan dan tahlilan, dan mencari sugesti positif lagi. Kalau tak saya lakukan, saya bisa begadang berhari-hari karena ketakutan, nih! Dan gak akan berani ditinggal di kamar sendirian sama partner. Kayak kemarin petang, nih, saya nangis dong gara2 pas bangun tidur partner saya tau2 udah rapi dan siap pergi mengajar. Jadilah saya ikut dia pergi sambil terkantuk-kantuk.
Demikianlah. Di rumah sobat tadi, saya sengaja memandangi foto ayahnya berlama-lama. Rasanya seperti bercakap-cakap dengan beliau. Saya pandangi senyumnya, saya ingat semangat dan keramahannya di hari-hari terakhir di rumah sakit, saya ingat bagaimana ia bertutur tentang sobat, saya coba rasakan lagi hangat tangannya yang menggenggam saya... dan berhasil. Ia mampu mengalahkan bayangan2 di kepala saya.
*Selamat jalan, Oom. Senang sempat mengenalmu. Karena engkau juga lah saya bisa berteman baik dengan anakmu. Terima kasih, ya. :) Doakan kami dari sana.*
Saya bukan seorang muslim, dan tumbuh besar di lingkungan katolik. Saya terbiasa melihat prosesi kematian orang katolik, dan sangat tidak terbiasa melihat prosesi kematian seorang muslim. Saya berkali-kali melihat jenasah dalam peti, dan hampir tak pernah melihat jenasah berkafan. Waktu kakek saya yang seorang muslim meninggal, saya tidak bisa melihat jenasahnya yg sudah dikafani. Begitu juga ketika Pakdhe (paman) meninggal, satu-satunya kemungkinan melihat jenasah berkafannya adalah ketika pemakaman. Tapi karena saya perempuan dan bukan keluarga inti, saya tidak boleh berada di ring satu kuburan beliau, melainkan di barisan luar, sehingga lagi2 saya tak bisa melihatnya.
saya menyesal. Mengapa dua malam belakangan saya tak menyempatkan diri untuk menemani sobat saya di rumah sakit? Mengapa saya lebih memilih ngopi-ngopi dan ngobrol ngalor ngidul? Mengapa saya tidak mengerjakan tugas di rumah sakit saja?
:((
sedih. padahal hari2 itu jelas sangat berat baginya.
Senin, 4 Juni 2012 dini hari, satu lagi suporter sepak bola Indonesia harus meregang nyawa. Kali ini, korbannya berasal dari Surabaya. Namanya Tomi, siswa kelas XII SMKN 5 (STM Pembangunan) Surabaya. Ia ditemukan tergeletak di tribun penonton setelah kerusuhan antara suporter (bonek) dan polisi berakhir. Tomi meninggal setibanya di rumah sakit, dengan lebam-lebam di pipi kanan dan pinggang belakang. Penyebab kematian Tomi sendiri belum diketahui, tapi kemungkinan besar ia mati terinjak-injak.
Kejadian ini memembuat saya geram, semakin geram.
Selama ini, suporter bola Indonesia selalu mengagungkan kekompakan dan solidaritas kelompok masing-masing. Setiap saya berdiskusi dengan teman yang menjadi suporter fanatik klub bola tertentu, saya pasti mempertanyakan alasan mereka melakukan perkelahian, tawuran, dan penyerangan (yang semuanya adalah bentuk kekerasan). Jawabannya cuma satu, tidak lain dan tidak bukan: solidaritas! Kata mereka, mana mungkin mereka diam ketika tim yang mereka dukung dicurangi atau dihina; mana mungkin mereka diam ketika rekan mereka sesama suporter diganggu, dilecehkan harga dirinya, oleh kelompok suporter lain?
Mereka boleh memberi argumentasi yang begitu kuat dan berapi-api pada saya. Tapi saya juga tidak akan pernah lupa, bahwa jasad korban tewas akibat perseteruan suporter selalu sendirian, terbuang, jauh dari kelompoknya! Mayat-mayat itu selalu ditemukan belakangan, dalam kondisi yang sudah "entah" wujudnya. Sebagian dari korban ditemukan mati di tempat, yang lain mati dalam perjalanan ke rumah sakit, atau justru mati di rumah sakit karena terlambat ditolong.
Halooo, kalian yang mendewakan solidaritas antar suporter! Di mana kalian berada ketika kawan kalian sekarat di dalam got karena dihajar musuh? Di mana kalian berada ketika rekan kalian kesakitan dan berjuang hidup sendirian, hampir telanjang, remuk tubuhnya, berharap masih bisa bernafas lebih lama? Sedang sembunyi di mana dewa solidaritas kalian ketika kawan kalian sendiri ada di bawah sepatu kalian, kalian injak, kalian tinggal lari? Di mana kuping itu kalian simpan ketika mereka sedang berteriak minta tolong? Orang-orang itu, adalah orang yang berdiri tegak bersama kalian d tribun penonton, yang mengerahkan segenap jiwa raga untuk membela tim tercinta. Mereka itu, yang kalian bilang harus dibela mati-matian, bukan?
Ah. sungguh omong kosong belaka. Solidaritas hanyalah pemanis bibir yang digunakan untuk menutup gunungan ego kalian. Kematian kawan kalian gunakan sebagai alasan berperang lagi, lagi, dan lagi. Aku yakin kalian tahu benar bahwa mereka takkan mati jika tak kalian tinggalkan, bahwa kalian juga lah yang membunuh mereka. Ya, kan?
kata orang, jadi terkenal itu susah.
soalnya jadi sorotan orang terus-terusan. semua mata dan telinga tertuju pada si terkenal. semua memperhatikan, semua siap memberi komentar.
begitulah nasib jadi terkenal.
nah,
kalo di endonesa ini nih ya, salah satu yang masuk golongan terkenal itu agama islam. ya gimana enggak terkenal, lha wong lebih dari 80% warga negaranya memeluk agama islam kok.
maka, sebagai pihak yang terkenal, islam pun menjadi sorotan. dan saya jadi termasuk orang yang nyorot-nyorot itu. sekali lagi ya, gimana enggak nyorot, lha wong hampir semua orang di sekitar saya tuh islam. tiap hari saya juga menghadapi ritual-ritual islam. panggilan doanya aja saya denger sahut-sahutan dari masjid lima kali sehari. bahkan saya tu sampe hafal salam-salamnya dan beberapa potong doanya, saking seringnya saya denger di kehidupan sehari-hari. bahkan salah satu sumber hukum di negara saya endonesa tercinta ini dalah hukum islam, sodara-sodara! sungguh, islam sangat mempengaruhi hidup saya.
saking dekatnya hubungan personal saya dan islam ini, wajar lah ya, kalo kadang-kadang saya juga ngasih hasil refleksi, pendapat, komentar atau sedikit masukan tentangnya. namanya juga in relationship. hahahaa
kadang ada yg panas kalo saya cuap2 soal islam, lisan maupun tulisan. sebenernya gak perlu gitu lah. biasa aja.
kan bakal jadi aneh, ya, kalo orang bisa menerima ketika islam menjadi bagian penting dalam hidup saya (dengan segala ritualnya, dsb, dsb); tapi jadi berang atau tidak ingin saya "menjadi bagian dari islam" melalui bergaia tulisan, refleksi, pendapat, dsb, dsb.
*seperti pasangan yang lagi in relationship lainnya, hubungan yang 'tidak saling' itu tidaklah sehat, sodara.*
yaa, jadi demikianlah, sodara-sodara, pak, bu.
namanya juga resiko jadi terkenal. :p
oya,
sebenarnya saya cuap-cuap tentang banyak hal juga kok, dan saya tulis sebagian dari cuapan2 itu di fesbuk ini. termasuk tentang katolik yang kebetulan adalah agama saya, serta hal-hal lainnya. topik2 itu bahkan lebih banyak dari cuapan2 yang isinya senggol2 islam.
tapi saya berani taruhan, paling banter anda cuman ngelirik doang. udah. enggak ada minat untuk ngelanjutin bacanya ato ngasih komen. (kecuali kalo anda adalah orang yang terpaksa baca n komen karena saya tag)
kenapa? karena topiknya enggak terkenal, gak ngefek ato gak ada hubungannya ke hidup anda! enggak penting banget buat anda untuk tahu soal itu. ya to?
dan kayaknya,,
sebagian besar dari anda baca catatan ini juga karena ada kata 'islam' yang saya tulis pake huruf kapital di judulnya.
demikianlah sodara-sodara...
terima kasih sudah mampir n baca.
semoga gak nabok saya kalo ketemu nanti.
*dan ngengat2 pun terbang mendekati api yang terang dan hangat....*
Hari ini adalah puasa keempat belas di bulan Ramadhan, dan hari keempat puluh empat saya di Pancake’s Company. Seperti biasa, hari-hari di sini selalu menyenangkan. Omset agak menurun, dan kami jadi sedikit berleha-leha di jam kerja, tapi tetap ceria. Haha :D
Satu lagi yang tak berubah di bulan Ramadhan ini: tumpukan piring berisi sisa makanan. Yap, sekitar sepertiga dari piring-piring yang kembali ke dapur masih berisi pancake, waffle, spaghetti, atau makanan lainnya. Kadang juga berisi tumpukan keju yang telah disisihkan, atau buah-buahan sisa dari pancake fruity ice cream.
Fiuuuhhh…
Bulan ini bulan puasa. Setahu saya, puasa itu latihan menahan diri dari berbagai nafsu. Nafu makan, nafsu minum, nafsu marah, nafsu ini-itu-ini-itu. Puasa adalah latihan berempati pada orang lain, terutama kaum miskin dan papa. Orang yang berpuasa, dalam hal ini Muslim, mau tidak mau jadi lapar dan haus karena tidak makan dan minum selama sekitar 13,5 jam. Mereka dilatih untuk tahu bagaimana rasanya tidak bisa makan, seperti yang dirasakan orang fakir.
Namun sepertinya puasa berakhir sebagai ritual tahunan biasa yang kehilangan makna. Setidaknya itulah kesimpulan yang saya ambil dari piring-piring berisi sisa makanan itu. Puasa, ternyata tak membuat yang berpuasa lebih menghargai apa yang bisa ia makan. Puasa, ternyata tak sanggup mengingatkan mereka pada pengemis, pemulung, pak becak, orang gila, juga pengamen yang berseliweran di depan Pancake’s Company atau di perempatan-perempatan yang mereka lalui. Puasa, ternyata tak membuat mereka sadar bahwa saat ini krisis makanan besar terjadi di dunia dan membuat orang-orang di Somalia, Kenya, Namibia mati kelaparan.
Dan saya pun membuang sisa spaghetti ke plastik sampah.
Aku tidak tahu. Tapi kadang aku merasa, ada kehidupan lain di sisiku. Entah apa namanya. Mungkin hantu. Mungkin jiwa-jiwa tanpa raga. Mungkin, angin yang sedang menyapa.
Berita duka datang minggu lalu. Salah satu rekan saya, sesama Action Partner OIYP (dari Papua Nugini) meninggal, karena HIV/AIDS.
Usianya baru 24 tahun.
Sungguh masih muda.
Di PNG (Papua New Guinea), ia bergabung dgn sebuah komunitas yang menyediakan rumah tinggal dan konseling bagi para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terutama yg ditinggalkan keluarganya.
Ia sendiri positif HIV/AIDS, dan melalui komunitasnya ia berbagi rasa, pengalaman, dan dukungan dengan ODHA lainnya.
Sungguh sangat muda, ia. Dan sangat berharga hidupnya.
Beruntunglah,
ia tak menunggu lulus kuliah -apalagi bekerja dan lalu kaya- untuk melakukan sesuatu yg jadi panggilan nuraninya. :)
Gesa,
Gesa.
Terima kasih.
Kamu menyadarkanku.
Hidup (ternyata) memang terlalu singkat. Untuk menunda, apalagi untuk lari dan mengingkari nurani.
Kita sungguh tak tahu apa yang akan terjadi besok, besok, dan besok...
Masih rindu kehadiranmu, tubuh maupun jiwa.
Bukan karena prestise atau rutinitas belaka, melainkan mimpi dan janji bersama,
yang pernah kita gelar di meja.
Kalau memang memilih jalan berbeda, katakan.
Karena dalam bisumu aku menunggu,
atas nama persahabatan.
Kau bisa membunuhku demi sakit menunggu,
atas nama persahabatan.
28april2011,
o1.32
*Kita sama-sama bersayap. Aku tak ingin sayapku membusuk dalam janjimu,
sementara kau telah sibuk mencari madu,atas nama persahabatan.
Usai mandi, saya ngebut menuju agen bis. Masih dengan hati gundah. Mbak Etik dan Ryan sudah menunggu. Rasanya saya menangkap 'ketakutan' yang sama dari mata Ryan. Bisa jadi saya salah.
Dua jam perjalanan. Kami banyak bicara. Sekali waktu kami melirik Pleidooi. Berkas pembelaan.
*
Pengadilan Negeri Karanganyar ini lebih ramai dari sebelumnya. Ada beberapa teman LBT dari Solo. Ada wartawan. Lengkap dengan kamera-kamera mereka. Rupanya ada yang mengundang media secara sembarangan.
Dimas ada di balik jeruji itu. Tempat transit tahanan sebelum bersidang. Kegundahannya tampak jelas.
"Mas! Kalo mau motret potret aja!! Sini! Gak usah sembunyi-sembunyi!"
Ia marah pada wartawan.
"Kemarin aku muntah darah lagi, Mbak."
*
"Kamu punya flexi nggak?"
"Gak ada, Mas."
"Temen-temenmu ada yang punya gak?"
...
"Gak, Mas. Kamu mau telpon?"
Ryan meminjamkan ponselnya. Dimas makin gusar. Tampaknya yang telponnya tidak diterima. Ia menangis.
*
Saya menunggu. Tak ada keluarga yang datang. Tidak ada teman yang datang. Hanya kami. Orang yang sangat ia harapkan untuk datang pun tidak ada.
*
Tiba saatnya. Kami mengelilinginya. Memastikan wajahnya tak terekspos kamera.
Sidang hampir diskors karena Dimas menangis. Tapi ia tak mau ditunda lagi.
*
putusan dibacakan. Penipuan dan pencabulan anak. Pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda 60 juta, yang jika tak dibayar bisa digantikan dengan enam bulan kurungan.
Dimas pingsan. Media mengerubuti.
*
Ruang tahanan. Masih pingsan. Saat sadar, ia minta ke kamar mandi. Saya menemani.
Pintu dibuka. Dimas keluar dengan mulut penuh darah.
Kembali ke ruang tahanan, dan ia muntah lagi. Darah. Banyak darah. Cair, bercampur lendir. Ia pindah, duduk di bangku, dan muntah lagi. Darah yang kental dan menggumpal-gumpal.
*
Dimas yang pucat meronta. Tak mau dibawa ke rumah sakit.
"Saya mau pulang saja! Jangan bawa saya ke rumah sakit!"
Rupanya LP telah menjadi rumah baginya.
*
Saya dan Ryan menemani di mobil tahanan. Lima menit kami diam. Dimas seperti tidur. Tiba-tiba tangannya menyentuh saya, mencari-cari. Saya pikir ia minta minum, ternyata bukan. Sambil 'tidur', ia menggenggam tangan saya. Jari-jari kami bertautan. Erat sekali. Sampai sakit rasanya. Tiba-tiba saya merasakan kesepiannya... saya merasakan ketakutannya pada sendiri.
Dua menit. Ia lepas tangan saya. Lalu duduk tegak, dan mengucap doa...
Bismillah ir-Rahman ir-Rahim....
***
"Dimas itu kasihan. Dia itu nggak punya siapa-siapa. Dimas itu menyalahkan dirinya sendiri terus-terusan. Bahkan di pengadilan pun dia mengaku bahwa dia ingin bunuh diri. Dimas itu butuh teman, butuh pendampingan. Untuk menguatkan dia itu lho! Untuk memberi tahu dia bahwa apa yang dia rasakan itu tidak salah, bahwa kita memang punya hak atas seksualitas kita!"
"Aku itu sampai heran lo, kenapa kok justru teman2 LBT ini sepertinya kurang simpati pada Dimas. Padahal harusnya justru kalianlah yang lebih tahu perasaan Dimas, dibandingkan kami yang hetero ini."
***
Hingga saat ini, saya merasa tidak tenang.
Saya bangun dengan mimpi buruk. Saya ditangkap, dihajar, dijebloskan ke penjara. Saya dihajar oleh kepolisian dan kejaksaan. Pasangan saya dipaksa melihat saya dihajar hingga muntah darah, hingga ia mau memberi kesaksian palsu sesuai keinginan mereka. Media memberitakan saya dengan keterangan yang tidak benar dan menyudutkan. Semua orang menghujat saya...
Malam saya dihantui pengalaman Dimas. Saya seolah mengalami apa yang dia alami.
***
Teman-teman, Dimas tidak seperti kita yang punya banyak akses dan berpendidikan tinggi, bisa kuliah. Dimas tidak tahu wacana seksualitas. Dia tidak tahu menahu tentang gerakan LGBT. Bahkan, bukan tidak mungkin dia tidak tahu bahwa dalam ilmu psikologi, homoseksual itu bukan penyakit. Bahwa yang merupakan penyakit itu justru rasa malu, minder, ketakutan berlebihan atas orientasi seksualnya itu. Dimas hanya tahu bahwa dirinya sendiri menyukai perempuan, dan apa yang ia rasakan adalah 'dosa' di mata masyarakat. Sesuatu yang laknat. Dimas tidak tahu, bahwa hukum kita bisa jadi sangat kejam pada kaum homoseksual. Ia buta hukum.
***
Semoga, kita yang tahu dan paham wacana ini tidak berhenti pada wacana. Semoga kita mampu mengaplikasikan apa yang kita punya. Semoga kita tidak lupa pada teman-teman LGBT lain yang membutuhkan penguatan kita. Semoga di tengah kesibukan kita, komunitas kita, atau lembaga kita, kita masih sempat menengok mereka. Semoga dari uang yang kita dapat, ada yang bisa disisihkan untuk mendukung mereka, entah apapun bentuknya.
Semoga, dengan semua akses yang kita punya, kita bisa terus menyebarkan informasi pada teman-teman kita. Semoga, suatu saat nanti, tidak ada lagi yang kesepian dan merasa ditinggalkan seperti Dimas. Semoga kita mampu menjadi keluarga, terutama bagi mereka yang ditinggalkan oleh sanak saudaranya.
Semoga segala pengalaman yang kita punya bisa mengasah empati kita.
Semoga, perjuangan HAM kita tidak melayang di atas angin.