'Em, aku sudah kelihatan seperti laki-laki, belum? Atau masih kelihatan ceweknya?'
Pertanyaan itu muncul dari teman saya, Tokek, sepuluh menit lalu. Kami baru selesai belajar bersama karena besok ujian.
Tokek hendak pulang ke rumahnya di Setan, Maguwo, mungkin sekitar 10 km dari kos saya. Menuju ke sana, Tokek harus melalui jalan lingkar utara yg beberapa bulan lalu terkenal oleh kasus2 pembacokan di sana.
Trenyuh hati saya mendengar pertanyaan Tokek. Ia tidak (merasa) aman karena berkelamin perempuan. Kebetulan ciri2 fisik Tokek sangat sesuai dengan apa yg dipikirkan masyarakat tentang perempuan: berambut panjang, kurus langsing, feminin, gemulai. Lalu, untuk membuatnya lebih (merasa) aman, ia perlu berpura-pura menjadi 'laki-laki'. Rambut digelung dan disimpan dalam helm, menggunakan jaket besar, pasang muka sangar, membusungkan dada dan menaikkan bahu, kaki 'mekangkang'.
Kata Tokek dan teman-teman saya, penjambret atau pelaku kejahatan di jalan lingkar memang memilih perempuan sebagai korbannya. Mungkin karena perempuan (dianggap) lemah, tidak berdaya, tidak bisa melawan. Teman lelaki saya yg gondrong pernah sudah dipepet & didesak penjambret di sana, namun ia selamat karena mereka sadar ia adalah lelaki berambut panjang, bukan perempuan.
Sedih ya? Perempuan menjadi sasaran kejahatan karena dianggap tidak berdaya. Sedih lagi karena nyatanya banyak perempuan memang tidak berdaya menghadapi kejahatan macam ini. Bagaimana mau berdaya? Tidak biasa berteriak (perempuan tidak boleh cerawak dan teriak2). Tidak bisa beladiri (itu olah raga maskulin milik laki2). Tidak bisa berkelahi (perempuan tidak boleh berkelahi). Dan lain-lain, dan lain-lain.
Sampai kapan kita, perempuan, berada dalam kondisi tidak aman? Sampai kapan kita harus membusungkan dada dan berpura-pura menjadi 'lelaki' demi mendapat rasa aman?
::che::
Pertanyaan itu muncul dari teman saya, Tokek, sepuluh menit lalu. Kami baru selesai belajar bersama karena besok ujian.
Tokek hendak pulang ke rumahnya di Setan, Maguwo, mungkin sekitar 10 km dari kos saya. Menuju ke sana, Tokek harus melalui jalan lingkar utara yg beberapa bulan lalu terkenal oleh kasus2 pembacokan di sana.
Trenyuh hati saya mendengar pertanyaan Tokek. Ia tidak (merasa) aman karena berkelamin perempuan. Kebetulan ciri2 fisik Tokek sangat sesuai dengan apa yg dipikirkan masyarakat tentang perempuan: berambut panjang, kurus langsing, feminin, gemulai. Lalu, untuk membuatnya lebih (merasa) aman, ia perlu berpura-pura menjadi 'laki-laki'. Rambut digelung dan disimpan dalam helm, menggunakan jaket besar, pasang muka sangar, membusungkan dada dan menaikkan bahu, kaki 'mekangkang'.
Kata Tokek dan teman-teman saya, penjambret atau pelaku kejahatan di jalan lingkar memang memilih perempuan sebagai korbannya. Mungkin karena perempuan (dianggap) lemah, tidak berdaya, tidak bisa melawan. Teman lelaki saya yg gondrong pernah sudah dipepet & didesak penjambret di sana, namun ia selamat karena mereka sadar ia adalah lelaki berambut panjang, bukan perempuan.
Sedih ya? Perempuan menjadi sasaran kejahatan karena dianggap tidak berdaya. Sedih lagi karena nyatanya banyak perempuan memang tidak berdaya menghadapi kejahatan macam ini. Bagaimana mau berdaya? Tidak biasa berteriak (perempuan tidak boleh cerawak dan teriak2). Tidak bisa beladiri (itu olah raga maskulin milik laki2). Tidak bisa berkelahi (perempuan tidak boleh berkelahi). Dan lain-lain, dan lain-lain.
Sampai kapan kita, perempuan, berada dalam kondisi tidak aman? Sampai kapan kita harus membusungkan dada dan berpura-pura menjadi 'lelaki' demi mendapat rasa aman?
::che::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
What's on your mind? Let me know! :))