twitter
    Celebrating the T in LGBT

Jumat, 08 Juni 2012

Pocong [1]

Saya bukan seorang muslim, dan tumbuh besar di lingkungan katolik. Saya terbiasa melihat prosesi kematian orang katolik, dan sangat tidak terbiasa melihat prosesi kematian seorang muslim. Saya berkali-kali melihat jenasah dalam peti, dan hampir tak pernah melihat jenasah berkafan. Waktu kakek saya yang seorang muslim meninggal, saya tidak bisa melihat jenasahnya yg sudah dikafani. Begitu juga ketika Pakdhe (paman) meninggal, satu-satunya kemungkinan melihat jenasah berkafannya adalah ketika pemakaman. Tapi karena saya perempuan dan bukan keluarga inti, saya tidak boleh berada di ring satu kuburan beliau, melainkan di barisan luar, sehingga lagi2 saya tak bisa melihatnya.



Sejak kemarin, saya melihat jenasah berkafan. Jenasah ayah sahabat saya. Saya jadi salah tingkah. Takut campur bingung campur khawatir campur entah.


Jenasah disemayamkan di ruang tamu rumah. Semalam, sobat saya dan kakaknya tidur di situ, dekat jenasah ayahnya. Saya hampir jatuh dari kursi ketika tertidur di luar, di kursi-kursi plastik untuk pelayat. Akhirnya saya pindah ke dalam, ke sebelah sobat saya. Ngantuk tingkat dewa ternyata tak berhasil membuat saya tidur di situ. Saya terjaga --dan sejujurnya-- ketakutan. Akhirnya saya keluar lagi, menghabiskan berbatang-batang rokok demi menunggu pagi.


Siang tadi, saya membantu mendokumentasikan prosesi pemakaman Oom. Mengikuti setiap momen dan mengabadikannya dalam kamera, termasuk ketika jenasah diusung dengan keranda, diturunkan ke kubur, tali kafan dilepas, dst.


Ini sungguh pengalaman baru buat saya.


Harusnya sekarang saya memindah data dari memori kamera ke laptop. Tapi saya belum siap untuk melihat foto2 di dalamnya. I don't have the courage.




Huhuhuuuu


-ema

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

What's on your mind? Let me know! :))