Kemarin pagi, waktu berangkat beli rendeng bareng Mumu, saya melewati Gereja Kristen Jawi di depan kampus UKDW. Ratusan murid BODA (SMA Bopkri 2) sedang keluar dari gereja, menuju sekolah mereka.
Muda dan ceria. Penuh senyum dan harapan.
Dan saya menangis sambil menyetir.
Tunas2 belia ini, dengan berbagai cara, akan ditundukkan oleh sistem dan seperti dipaksa menjadi generasi yang hilang. Mereka dicegah untuk mengenali diri sendiri dan berkontribusi pada masyarakatnya. Mereka hanya disiapkan untuk jadi budak-budak korporasi.
Mereka yang gelisah akan hilangnya eksistensi, akan mencari ruang-ruang baru yang memperbolehkan mereka bernapas. Salah satunya: geng sekolah. Masih terekam di benak saya: satu setengah tahun yang lalu, seorang murid SMA Boda terlibat tawuran (lagi) dengan SMA GAMA. Satu orang siswa GAMA mati di tangan salah satu murid Boda. Tragis. Sama2 muda, sama2 dihilangkan jati dirinya, sama2 dimatikan di tangan sistem. Sesungguhnya, mereka semua adalah korban.
Beberapa tahun ini saya terus-menerus bertanya, apakah yang bisa saya lakukan untuk mereka. Saya pernah berada dalam posisi yang sama, dan dengan kepedulian beberapa kawan, saya mampu (perlahan-lahan) melepaskan diri dari belenggu sistem itu. Saya menyadari penuh kewajiban moral saya untuk menggandeng tangan2 muda lainnya untuk bangun, seperti dulu kawan2 menggandeng tangan saya.
Berbagai inisiatif sudah saya buat, namun hasilnya belum memuaskan. Murid2 luar biasa dari SMA baru saya jadikan sebagai obyek kampanye damai, tapi belum pernah saya sertakan langsung dalam proses bina damai itu sendiri. Saya merasa tak berbeda dengan tangan sistem yang hanya mengobyekkan mereka.
Seorang kawan pernah berpesan, kalau kamu ingin melibatkan orang dalam mencapai sesuatu, kamu harus membiarkan mereka memilih cara mereka sendiri dan menggunakan potensinya. Maka saya berusaha. Dua tahun penuh saya coba membaca karakter teman2 SMA. Saya menangkap potensi luar biasa mereka, memang, khususnya dalam hal corat-coret dinding, menulis di media sosial, dan fotografi.
Berdasarkan pengamatan dan nasehat itu, inisiatif baru coba saya buat. Kali ini bernama Peace Bomber Project. Dalam inisiatif ini, saya akan melibatkan setidaknya 30 siswa SMA, dari berbagai latar belakang, untuk bersama-sama menyuarakan kegelisahan akan segala bentuk kekerasan dan perdamaian. Saya berharap, kali ini mereka benar2 bisa menjadi aktornya, bukan hanya obyekan saja. Semoga program ini bisa menjadi ruang baru bagi mereka untuk mencari dan mengekspresikan jati dirinya...
Terima kasih sebesar-besarnya pada seluruh teman yang mendukung saya sejak awal, yang membangkitkan keberanian saya untuk (mulai) bergerak mandiri. Khususnya Juned. Kamu sobat saya yang luar biasa, kawan. Terima kasih. Juga pada Lia, yang mendorong saya untuk tetap maju meski dengan keterbatasan sumber daya dan meyakinkan saya bahwa perubahan pun bisa dilakukan meski hanya dengan 5 orang pemuda. Terima kasih. Syukurlah kali ini ada OIYP yang siap mendukung saya dalam hal sumber daya. Terima kasih juga. Dan pada semua teman -Galang, Bimo, Mai, Bre- yang selalu siap berbagi cerita dan pengalaman semasa SMA untuk mematangkan ide ini. Lagi-lagi terima kasih.
Masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum program ini benar2 berjalan. Tapi dengan sobat-sobat luar biasa seperti kalian, saya tahu kita bisa melakukannya.
-ema
*dan Mumu, kamu tahu betapa berartinya kamu dalam tiap langkah hidupku, Sayang. :)))
Muda dan ceria. Penuh senyum dan harapan.
Dan saya menangis sambil menyetir.
Tunas2 belia ini, dengan berbagai cara, akan ditundukkan oleh sistem dan seperti dipaksa menjadi generasi yang hilang. Mereka dicegah untuk mengenali diri sendiri dan berkontribusi pada masyarakatnya. Mereka hanya disiapkan untuk jadi budak-budak korporasi.
Mereka yang gelisah akan hilangnya eksistensi, akan mencari ruang-ruang baru yang memperbolehkan mereka bernapas. Salah satunya: geng sekolah. Masih terekam di benak saya: satu setengah tahun yang lalu, seorang murid SMA Boda terlibat tawuran (lagi) dengan SMA GAMA. Satu orang siswa GAMA mati di tangan salah satu murid Boda. Tragis. Sama2 muda, sama2 dihilangkan jati dirinya, sama2 dimatikan di tangan sistem. Sesungguhnya, mereka semua adalah korban.
Beberapa tahun ini saya terus-menerus bertanya, apakah yang bisa saya lakukan untuk mereka. Saya pernah berada dalam posisi yang sama, dan dengan kepedulian beberapa kawan, saya mampu (perlahan-lahan) melepaskan diri dari belenggu sistem itu. Saya menyadari penuh kewajiban moral saya untuk menggandeng tangan2 muda lainnya untuk bangun, seperti dulu kawan2 menggandeng tangan saya.
Berbagai inisiatif sudah saya buat, namun hasilnya belum memuaskan. Murid2 luar biasa dari SMA baru saya jadikan sebagai obyek kampanye damai, tapi belum pernah saya sertakan langsung dalam proses bina damai itu sendiri. Saya merasa tak berbeda dengan tangan sistem yang hanya mengobyekkan mereka.
Seorang kawan pernah berpesan, kalau kamu ingin melibatkan orang dalam mencapai sesuatu, kamu harus membiarkan mereka memilih cara mereka sendiri dan menggunakan potensinya. Maka saya berusaha. Dua tahun penuh saya coba membaca karakter teman2 SMA. Saya menangkap potensi luar biasa mereka, memang, khususnya dalam hal corat-coret dinding, menulis di media sosial, dan fotografi.
Berdasarkan pengamatan dan nasehat itu, inisiatif baru coba saya buat. Kali ini bernama Peace Bomber Project. Dalam inisiatif ini, saya akan melibatkan setidaknya 30 siswa SMA, dari berbagai latar belakang, untuk bersama-sama menyuarakan kegelisahan akan segala bentuk kekerasan dan perdamaian. Saya berharap, kali ini mereka benar2 bisa menjadi aktornya, bukan hanya obyekan saja. Semoga program ini bisa menjadi ruang baru bagi mereka untuk mencari dan mengekspresikan jati dirinya...
Terima kasih sebesar-besarnya pada seluruh teman yang mendukung saya sejak awal, yang membangkitkan keberanian saya untuk (mulai) bergerak mandiri. Khususnya Juned. Kamu sobat saya yang luar biasa, kawan. Terima kasih. Juga pada Lia, yang mendorong saya untuk tetap maju meski dengan keterbatasan sumber daya dan meyakinkan saya bahwa perubahan pun bisa dilakukan meski hanya dengan 5 orang pemuda. Terima kasih. Syukurlah kali ini ada OIYP yang siap mendukung saya dalam hal sumber daya. Terima kasih juga. Dan pada semua teman -Galang, Bimo, Mai, Bre- yang selalu siap berbagi cerita dan pengalaman semasa SMA untuk mematangkan ide ini. Lagi-lagi terima kasih.
Masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum program ini benar2 berjalan. Tapi dengan sobat-sobat luar biasa seperti kalian, saya tahu kita bisa melakukannya.
-ema
*dan Mumu, kamu tahu betapa berartinya kamu dalam tiap langkah hidupku, Sayang. :)))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
What's on your mind? Let me know! :))