Rasa lapar dan ingin ngemil malam ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam.
***
Sekolah Dasar saya termasuk SD terkenal di Kota Malang. Eits, jangan bayangkan piala dulu! Di Malang, nampaknya cukup lumrah jika sebuah sekolah jadi terkenal karena jajanan (kuliner) di sekitarnya. Misalnya, SMA Dempo alias St. Albertus terkenal dengan Bakso Dempo, Pangsit Dempo, dan Es Teler Dempo yang terletak di belakang bangunannya; SDN Rampal dengan mi pangsitnya yang enak dan murah (cuma 2000 rupiah!); atau SMP Santa Maria II dikenal karena letaknya dekat Pulosari, salah satu area jajanan jagung dan roti bakar. Di kompleks perumahan saya (yang luasnya kira2 sepuluh kali luas kompleks UGM) bahkan sering ada percakapan macam ini:
"Mau ke mana?"
"STM Telkom!"
"Cari cilok ya?"
"He'eh."
Hahaha...
Kalau SD saya, sepertinya terkenal karena para penjual jajanan di halaman depannya. Gado-gado, mi pangsit, cilok (CILOK!!!), es degan, makaroni, dan sebagainya dan sebagainya. Separuh, bahkan mungkin lebih, dari pembeli merupakan tante-tante atau om-om yang mengantar-jemput anak mereka, peagawai-pegawai kantoran, dan anak-anak dari sekolah lain. Hal ini masih saya temui hingga sekarang. Bahkan saya makin sering melihat anak-anak dari SMA saya -Dempo- yang jajan di sana, padahal jarak sekolahnya sekitar 3 kilometer.
Sayang seribu sayang, ada jajanan yang tak lagi saya temui di sana. Sudah lama sebenarnya, sejak saya masih SMA. Dulu jajanan ini juga sangat terkenal. Bapak penjualnya bahkan meneruskan bisnis ini dari ayahnya, yang artinya jajanan ini sudah eksis di sana sebelum saya lahir!
Kami menyebutnya kerupuk umbel. Ya, umbel alias ingus, lendir yang keluar dari hidung itu. Jangan khawatir, Krupuk ini tidak terbuat dari umbel, kok. Kerupuknya adalah kerupuk pasir. Itu lho, kerupuk yang digoreng menggunakan pasir, bukan minyak. Dan "umbel"-nya adalah saus yang terbuat dari petis dan kanji yang dimasak dan berubah wujud menjadi cairan kental berwarna bening kecoklatan seperti umbel.
Si Bapak kerupuk umbel biasanya datang membawa dua plastik besar penuh kerupuk menggunakan sepeda kayuhnya. Sungguh, masing-masing plastik itu tingginya jauh melebihi kepala si bapak. Ia harus berjinjit untuk mengambil kerupuk-kerupuk pertamanya. Hebatnya, kerupuk hampir pasti habis terjual setiap hari. Jangn coba mencari beliau di atas jam setengah tiga sore jika kau tak ingin sakit hati karena sudah kehabisan (atau kalau lebih sial lagi, si bapak malah sudah pulang).
Namanya memang aneh dan menjijikkan. Tapi bagi anak SD, kerupuk umbel itu luar biasa enaknya. Apalagi jika dimakan dengan saus yang pedas (dicampur cabe). Murah, pula! SD kelas 1, saya akan mendapat satu contong krupuk untuk seratus rupiah, atau satu kresek kecil kerupuk hanya dengan tiga ratus rupiah. Harga terus naik, hingga menjadi seribu rupiah untuk satu kresek saat saya kelas tiga SMP. Tetap murah, bukan? Meski murah, pasukan kerupuk itu berhasil memberi motor pada si bapak, lho.:D
Saya sudah berseragam putih-abu ketika tiba-tiba si bapak tak lagi membawa dua plastik kerupuk umbel di motornya, melainkan satu kotak besar yang penuh cilok.
"Lho, Pak, krupuknya mana??"
"Lhooo, sudah nggak jualan krupuk saya, Mbak! Banting stir. Sekarang jualan cilok aja."
"Kenapa, Pak???"
"Lha kerupukE sudah nggak laku e mbak, kalah sama cilok sama makroni. Hehehee..."
Saya cuma bisa garuk-garuk kepala. Gemas, jengkel, sedih.
Dulu, saya sedihnya karena tidak bisa makan kerepuk umbel SD Cor Jesu lagi. Tapi sekarang sedihnya berbeda. Makin sedih. Karena kerupuk umbelnya kalah oleh makaroni!
Kau tahu makaroni, kan? Bahan pasta yang biasanya jadi campuran sup. Bentuknya macam.macam, kebanyakan spiral atau tabung yang berlubang di tengahnya. jajanan "makaroni" yang dimaksud di atas adalah makaroni yang dijemur dan digoreng untuk kemudian dibumbui dengan royco dan bubuk cabe, dijual dalam plastik-plastik kecil berbagai ukuran. Harganya dulu seratus hingga lima ratus, sekarang lima ratus hingga dua ribu lima ratus.
Tragisnya, makaroni adalah makan yang tidak bisa diproduksi secara mandiri di Indonesia. Mengapa? Karena berbahan baku gandum yang jelas-jelas tidak diproduksi oleh Indonesia. Hingga 2010, seluruh kebutuhan gandum di Indonesia masih diimpor dari negara lain. Sementara kerupuk, ia terbuat dari tapioka. tapioka itu terbuat dari ketela pohon alias singkong alias pohong yang tumbuh subur di tanah kita dan ada di mana-mana. Jadi, produk lokal kita kalah oleh barang impor!
Mengapa? Mengapa? Mengapa kerupuk harus kalah oleh makaroni? Huhuu....
Sampai jumpa, kerupuk umbel... aku akan selalu mengenangmu...
*tragisnya, saya juga doyan sekali sama makaroni
*Semoga Indonesia bisa segera menemukan bahan pengganti gandum... Semoga satu hari nanti makaroni, Indomie dan tepung terigu bisa dibuat dari bahan pangan yang ditanam di Indonesia... T____T
::che::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
What's on your mind? Let me know! :))