twitter
    Celebrating the T in LGBT

Senin, 28 Oktober 2013

Whattt?? Wajib berjilbab???

Besok tim fasilitator anti bullying Jogja bakal ke salah satu sekolah Islam di Jogja. Pihak sekolah mensyaratkan penggunaan jilbab untuk semua anggota tim (fasilitator & observer) bervagina. Ngeselin.

Ya ya ya, beberapa temen bilang ini negosiasi lah, kompromi lah, apa lah. Tapi ngeselin tauk!

Kurang apa coba selama ini saya berkompromi dengan semua tatanan nilai di masyarakat, termasuk komunitas LGBT sendiri, soal identitas dan ekspresi gender saya? Ini bukan soal kompromi dan negosiasi lagi namanya. Ini opresi. :(

Kesel. Kesel banget. :((

Tim tercinta dukung sih kalo saya sekalian dandan "lakik". Tapi di satu sisi, kok gak tega juga mengorbankan temen2 kalo sampe ketahuan sekolah saya bukan makhluk berpenis.

Aaaaahhhhhhhh..........

Kesel!!!!! :((

Rabu, 16 Oktober 2013

Englishman in New York (2)

Jogja panas waktu saya dan Mumu makan siang di pepes Mbah Im. Saya menenggelamkan diri di instagram, di antara ribuan foto bertagar #ftm, #transguy, dan #transmen.

"Mumu, liat deh, yg ini ganteng banget yaaaa...."

Mumu hening dan mengirim tatapan aneh.

"Kamu tau nggak sih, apa yang paling diinginkan oleh orang2 seperti itu?"

Oke. Itu pertanyaan aneh. Aura Mumu juga aneh.

"Enggak," jawab saya bodoh.

Saya tahu ke mana arah pembicaraan ini. Entah kenapa, saya lontarkan juga pertanyaan yang jelas2 tidak ingin saya dengar jawabannya:
"Emang kenapa, Mu?"

"Mereka ingin diakui sebagai manusia kelas nomer satu, manusia dengan gender laki-laki. Mereka tidak mau lagi hidup sebagai second class citizen; perempuan."

"Mereka masuk di pusaran sistem dan budaya patriarki, mengamininya, dan berusaha menjadi orang yang didewakan di kultur itu. Dengan menjadi laki2."

Nah, lho. Keluar sudah jawaban terprediksi itu. Bukan Mumu namanya kalau jawabannya tidak begitu.

Saya diam dan berusaha keras tidak menangis di situ, meski gagal. Beberapa tetes air mata kadung meluncur deras.

Saya tidak lagi menatap mata Mumu hari itu.