twitter
    Celebrating the T in LGBT

Senin, 17 Januari 2011

I think (?) I love My Sisters

Hari ini adek2 saya bolos sekolah. Katanya, sih, kecapekan setelah kemarin ikut saya mengirim masker ke sekitar Bromo.



Maka kami pun bersenang-senang di rumah, bertiga saja, sambil mengerjakan pekerjaan rumah.

Hari sudah siang. Saya dan Si Bungsu duduk-duduk di kamar, sementara Si Tengah menjemur sepatu di atap.


"Gubbrrraaaaaakkkk!!!!!!!!!!"

Saya terlunjak dari kasur dan lari ke lantai bawah. Setengah menangis saya panggil-panggil mana Si Tengah. "Yudithhhhh......Yudiithh!!!!!"

Saya tahu betul itu suara atap jebol. Saya tahu betul itu adik saya yang jatuh dari sana. Tidak ada sahutan darinya, dan bayangan buruk tentang adik saya yang terbaring-terbujur diam di lantai meracuni otak saya.

Sampai di lantai bawah, tidak ada dia di sana.

Saya berlari sekencang mungkin ke kamar semula dan meloncat ke jendela.

Di sana saya lihat dia,

adik saya,

berusaha bangun. Badannya di dalam loteng, kepalanya melongok keluar. Antara meringis kesakitan dan tertawa, ia menatap saya dan Si Bungsu.

Kami pun tertawa terbahak-bahak sekuat-kuatnya. Air mata saya keluar. Entah, itu air mata tawa, senang, lega, sedih, kaget, atau apa.

Si Bungsu menjulurkan sebotol air padanya. Lalu giliran saya mengulur tangan, mengangkat dia dari lubang besar itu.

Duduk di kusen jendela, kami tertawa lagi. Sambil membahas bagaimana reaksi bapak dan ibu nanti melihat lubang besar di atap dan eternit itu, menyusun strategi untuk memberi tahu orang tua tentang kejadian ini supaya tidak dimarahi.

Dan tertawa lagi.


Menatap kedua adik saya siang tadi,

ingatan saya tentang kejadian sebelumnya berputar lagi. Teriakan saya, bayangan di otak saya, ketakutan saya, kekhawatiran pada Si Tengah, rasa bersalah saya, getaran pada suara saya, kecepatan gerak dan lari saya, jauhnya lompatan saya, gerak refleks saya...

Ini, tah, cinta?



Dasar adik-adik bodooooohhhhhh.......


Dudul..

Aku gak mau hidup tanpa kalian.


Stay with me, please..


NB:
Si Tengak gak jatuh ke lantai bawah karena bokongnya nyangkut di eternit. Tepat di bawahnya ada daun pintu (tepat di sudutnya) dan lemari. Jika tak tertahan eternit, entah apa yg akan terjadi padanya.
Terima kasih, Tuhan, Semesta, eternit, rangka atap, dan semua2 yang menahan adikQ biar gak jatuh ke bawah...

::che::

Minggu, 09 Januari 2011

Apa aku sudah seperti lelaki?

'Em, aku sudah kelihatan seperti laki-laki, belum? Atau masih kelihatan ceweknya?'


Pertanyaan itu muncul dari teman saya, Tokek, sepuluh menit lalu. Kami baru selesai belajar bersama karena besok ujian.
Tokek hendak pulang ke rumahnya di Setan, Maguwo, mungkin sekitar 10 km dari kos saya. Menuju ke sana, Tokek harus melalui jalan lingkar utara yg beberapa bulan lalu terkenal oleh kasus2 pembacokan di sana.




Trenyuh hati saya mendengar pertanyaan Tokek. Ia tidak (merasa) aman karena berkelamin perempuan. Kebetulan ciri2 fisik Tokek sangat sesuai dengan apa yg dipikirkan masyarakat tentang perempuan: berambut panjang, kurus langsing, feminin, gemulai. Lalu, untuk membuatnya lebih (merasa) aman, ia perlu berpura-pura menjadi 'laki-laki'. Rambut digelung dan disimpan dalam helm, menggunakan jaket besar, pasang muka sangar, membusungkan dada dan menaikkan bahu, kaki 'mekangkang'.